BAB 14: DIA TIDAK PUNYA ANAK

2K 52 0
                                    

'Sudahlah, bukan urusanku. Apapun yang ingin dilakukan bersama dengan suaminya itu bukan urusanku. Aku tak ada hubungan apa-apa dengan suaminya.'

Rania menghindar dan meminta waktu pada pelayan untuk lihat-lihat dulu.

Dia heran pada dirinya sendiri kenapa sih dia tidak bisa melupakan pria dari masa lalunya? Padahal seharusnya mudah sekali jika dia ingin melupakannya apalagi sekarang matanya bisa melihat bagaimana Amar sangat mencintai putrinya.

Bukankah dia hanya ingin membahagiakan Marsha? Bukankah Amar adalah pria yang tepat karena dia sangat mencintai putri Rania? Lalu kenapa Rania harus memikirkan ayah biologis putrinya yang tidak pernah mau mengerti tentang perasaannya dan juga tidak pernah tahu kehadiran putrinya? Pria yang tidak mau memikirkan tentang mereka. Bukankah sebaiknya harus dilupakan? Apalagi pria itu juga sudah memiliki kehidupan sendiri bersama dengan wanita yang dinikahinya.

Sudah berapa kali Rania berpikir soal ini? Kenapa dia masih juga tetap bodoh memikirkan pria itu?

"Amar aku rasa aku pilih gaun yang ini saja!"

Rania dari tadi belum memilih apapun dan setelah wanita yang datang menyerobot bajunya itu pergi barulah dia meminta pelayan untuk mengambilkan pakaian.

"Kenapa kok keliatannya kesal? Tak suka dengan baju ini jangan memaksakan, Rania. Tidak harus kamu pakai dress code. Besok itu hari kita. Aku ingin melamarmu jadi tidak harus pakai baju yang sama seperti orang-orang yang datang ke acara nanti.

"Tidak, aku ingin pakai yang ini Amar. Bukan karena warnanya sama dengan dress code tapi kurasa gradasi warnanya sangat cocok. Bawahnya biru sama seperti dress code dan atasnya putih. Ada gradasi warna dan ini sama dengan bajumu, kemeja putih dan jas warna biru. Bukan ini kayak couple costume?"

"Acha, Mama mau jadi Cinderella. Acha mau enggak warnanya samaan ama Mama, kita cari dress blue kaya baju Cinderella?" selepas Rania bicara, Amar tak menanggapinya justru malah berlutut dan mencoba membujuk Marsha.

"Acha mo-nya pink."

"Nanti Om Amar juga pakai bajunya warnanya sama kayak bajunya Cinderella,” Ingin tertawa Rania karena tadi Amar mengatakan Marsha boleh pakai apa saja tapi mendengar couple kostum dia tiba-tiba membujuk Marsha.

"Pink Om! Acha sukanya pink!"

"Tapi nanti nggak ada yang temenin Om pakai baju warna biru. Yang blue aja, ya Acha?"

“Katanya dia boleh pilih warna apapun Amar?" Rania berbisik menahan tawa.

"Aku pengen pakai bajunya sama-an warnanya sama dia juga supaya nanti kita bisa bikin foto keluarga,” bisik Amar yang kembali mencoba membujuk.

"Ga mau Om, maunya pink!"

"Kalau sudah dibilang warnanya pink itu sulit Amar!” Rania tak mau ikut campur, hanya mengingatkan saja.

Dia membiarkan Amar membujuk putrinya yang Rania tahu, pasti tak akan mudah.

"Senang menertawaiku begitu?" gerutu Amar dengan wajahnya yang lesu.

"Hihihi, kan sudah kuperingatkan. Jadi sekarang kamu menyerah, kah?”

"Fuuh, mo gimana lagi?" Amar lemas hanya mengangkat bahunya setelah dia menyelesaikan pembayaran di butik itu.

"Mama, Acha punya baju color pink yang bagus loh!"

“Iya, iya Mama tahu. Nanti hari Sabtu kita pakai baju itu. Dua hari lagi. Kita ke rumahnya Om Amar. Masha mau ke sana? Nanti bisa main sama Tante Sita juga, ketemu sama opa dan oma juga!"

"Maooooo. Nanti Acha mau main Balbie-nya tante Sita, sama kayak baju Acha yang pink."

Memang itu yang diharapkan Marsha.

Sugar Baby Yang Tak DiinginkanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang