Bab 45 : Perpisahan dan Pertemuan Adalah Bagian Dari Kehidupan

10K 1.4K 53
                                    

Mu Jiang kembali ke gubuk sendirian, ia menceritakan apa yang terjadi pada Xiao Xinyi dengan perasaan yang sulit diuraikan. Du Xia yang mendengar ini tidak tahan untuk menangis, bagaimanapun Xiao Xinyi sangat akrab dengannya dan mereka sudah bersumpah menjadi sahabat sejati.

Meng Rulan hanya memeluk Mu Jiang, ia tahu betapa sulit dan menyakitkannya melihat orang yang sangat disayangi meninggal namun kita tidak dapat melakukan apa-apa.

Ketika matahari bahkan belum terbit, ketiga orang yang tersisa berjalan keluar tembok perbatasan ibukota. Mu Jiang mengeluarkan satu kantong uang.

"Du Xia, dimana kampung halamanmu? Apakah kau memiliki istri serta anak?" Tanya Mu Jiang.

"Du Xia berasal dari Desa Shuishi. Du Xia belum menikah atau memiliki anak."

Mu Jiang mengangguk, ia menyodorkan kantong uang itu pada Du Xia. "Kembalilah ke kampung halamanmu, hanya sedikit uang yang aku punya. Bawalah."

"Selir Mu! Bagaimana bisa saya meninggalkan anda!" Du Xia menolak.

"Istana sudah terbakar, sekarang aku hanyalah Mu Jiang bukannya Selir Mu lagi. Kau tidak memiliki kewajiban apapun untuk melayaniku. Kau sekarang sudah bebas. Jika suatu saat kita bertemu lagi, itu adalah takdir. Jika tidak, maka takdir kita hanya berhenti sampai disini." Mu Jiang berkata dengan tenang.

Du Xia merasa bahwa Mu Jiang hari ini berbeda dengan dirinya dulu, ia terlihat jauh lebih tangguh dan dingin. Du Xia tidak ingin memberatkan Mu Jiang dalam perjalanannya jika membawa dirinya yang tidak berguna ini, ia menerima kantong uang itu dan hanya mengambil setengahnya.

"Selama ini anda sudah begitu murah hati pada saya, membebaskan pelayan ini dan mempersilahkannya kembali ke kampung halaman adalah berkah yang tidak terlukiskan. Du Xia berharap bisa bertemu dengan anda lagi dimasa depan dan bisa melayani anda seperti hari-hari lalu."

Mu Jiang hanya tersenyum tipis, ia menerima kantong uang itu. Mu Jiang merampok kuda dari salah satu pedagang Negara Yue yang terlelap damai di dekat tembok kota. Ia dan Meng Rulan duduk di atas kuda. Mu Jiang menatap Du Xia.

"Jaga dirimu baik-baik."

Setelah mengatakan itu Mu Jiang memacu kudanya. Cahaya lembut matahari pagi yang keemasan memberi sentuhan surgawi pada penampilan Mu Jiang, kuda mulai menjauh dengan gagah.

Du Xia memandangi punggung Mu Jiang dengan air mata berderai. Walaupun awalnya ia bersikap baik kepada Selir Mu demi kenyamanan pribadi, namun lama kelamaan ia menaruh rasa hormat yang tinggi pada Mu Jiang. Du Xia hanya tidak pernah berpikir bahwa langit dan bumi akan berubah hanya dalam satu malam. Takdir dengan kejam seperti benang tajam yang memisahkan harapan. Du Xia dengan tulus berharap dimanapun Mu Jiang dan Meng Rulan berada suatu saat nanti, mereka akan bahagia dan selamat.

Perjalanan menghabiskan waktu nyaris setengah hari sebelum akhirnya benar-benar menjauh dari ibukota. Mu Jiang dan Meng Rulan berhenti di kedai teh yang tidak terlalu ramai, keduanya memesan teh dan makanan ringan.

Namun meski begitu sebenarnya Mu Jiang memasang telinganya baik-baik, ia mencari informasi tentang apa yang terjadi di luar istana. Tentu saja dirinya mendengar bahwa beberapa pria yang sepertinya kembali dari perjalanan tengah membicarakan hal yang terjadi baru-baru ini.

"Situasi benar-benar mencekam saat ini, Ibukota sudah direbut tetapi untungnya masih ada beberapa wilayah yang mampu bertahan. Hakim Cui dari Daerah Zimo melakukan keamanan yang sangat ketat, pasukan dari Daerah Zimo juga begitu kuat. Mereka bagaikan dinding besi yang tidak bisa dihancurkan." Salah satu berbicara sambil memakan biji teratai.

"Hakim Cui sangat berbakat sejak muda, sayangnya ia sendirian setelah istrinya meninggal dan mengasuh seorang putra."

"Lalu bagaimana dengan kabar Kavaleri Xuening?"

[BL] The Land Becomes A River Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang