Asap abu pekat keluar dari mulutnya sekali lagi. Entah sudah berapa lama Zayn duduk di balkon kamarnya. Zayn juga nggak sadar. Tadi, niatnya mau ngehabisin satu batang doang. Sekarang, udah ada tiga puntung rokok di atas asbak.
Tommy meringkuk di pangkuannya. Kedinginan kena angin malam. Sementara, dirinya sendiri cuma mengenakan celana pendek dan bertelanjang dada.
Zayn sedang asyik menghabiskan rokoknya yang keempat saat suara seseorang memanggil namanya, menggema di dalam kamar. Segera, Zayn meletakkan Tommy di sofa yang baru didudukinya. Membuang rokoknya ke asbak. Lalu, keluar balkon. Dan betapa terkejutnya dia, karena seorang gadis yang dia kenal, sudah berdiri di dalam kamarnya.
"Nayla?" Zayn menghampirinya. "Kok, bisa masuk?"
"Pintunya nggak ditutup."
Lah? Emang iya?
"Gue kira lo kenapa-napa." Nayla bahkan nggak sanggup natap Zayn. Karena, satu detik kemudian, matanya berair. "Gue kira …" air mata itu makin tumpah ruah. "Gue kira lo sakit parah sampai nggak sanggup buat ngabarin siapa pun."
Zayn diam seribu bahasa. Tubuhnya kaku. Melihat Nayla nangis karena dirinya membuat hatinya ikut sakit juga. Zayn cuma bisa merengkuh tubuh gadis itu. Membawanya dalam pelukan. "Maaf," ucapnya lirih.
Namun, tangis Nayla malah makin parah. "Kenapa lo nggak angkat telepon dari gue?"
Memang tidak ada yang tahu betapa nggak berseleranya Zayn berinteraksi dengan orang lain akhir-akhir ini. Memeriksa ponsel dan mengabari orang lain tentang keadaannya adalah hal paling nggak mau dilakukannya.
"Maaf." Lagi, hanya itu yang bisa Zayn katakan. Ditepuknya punggung Nayla. Berharap itu bisa cukup menenangkan.
Nayla cuma bisa diam. Membiarkan dirinya dipeluk oleh Zayn. Tubuhnya lemas. Dan tangannya bahkan nggak sanggup buat membalas pelukan itu.
Zayn memeluk Nayla lebih erat. Guna menenangkan dirinya juga. Merasakan hangat yang menjalari tubuhnya yang sudah kenyang dengan angin malam.
.
.
.***
.
.
.Selepas mendudukkan Nayla di sofa ruang depan, Zayn mengambil kaus di gantungan secara asal. Membawa masuk Tommy, kasihan kedinginan. Zayn lalu ke dapur. Mencomot cangkir dan mengisinya dengan air dingin.
"Perlu dikompres, nggak?" tanya Zayn. Duduk di sebelah Nayla dan memberikan cangkir itu ke genggamannya.
"Enggak," jawab Nayla singkat, sebelum dia meneguk air dalam cangkir itu. Mata Nayla bengkak gara-gara nangis tadi.
Setelah tenggorokannya terasa lebih lega, Nayla meletakkan cangkirnya dan mengubah posisi duduk menghadap Zayn. "Gue mau nanya."
"Apa?"
"Tapi, ini mengenai masalah pribadi lo."
Zayn menggamit tangan Nayla dan meletakkannya di pangkuan. "Tanya aja."
"Orang tua lo cerai?"
Zayn menghela napas dan ngubah posisi duduk. Dia bersandar pada sandaran sofa tanpa melepas tangan Nayla. "Hmm," jawabnya.
"Apa karena itu lo nggak masuk berhari-hari? Lo nggak sakit, 'kan?" Nayla memiringkan kepala, melihat ekspresi Zayn yang malah lagi nutup mata.
"Bokap sama Nyokap gue cerai bukan masalah besar, La." Zayn beralih menghadap Nayla lagi. Mengangkat satu kakinya ke atas sofa. Menyangga kepala dengan satu tangan. "Mereka pisah baik-baik. Nggak ada yang perlu dikhawatirin."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi, Amberlyyn! (✓)
RomanceGimana rasanya dicintai sama makhluk ajaib? Ketua OSIS yang songong dan kejam kayak psikopat. Ketua geng motor yang kalau gabut kerjaannya gibahin orang. Mana yang akan kamu pilih? _______ Jul 2023, IshtarWinter