Keping 6 : Someone Who Looks Tough

72 5 0
                                    

Sampai di Pagerwangi Dome, Nayla langsung membentangkan kain di atas tanah yang berumput. Mengeluarkan berbagai bekal yang dia bawa. Zayn dan Nayla duduk bersampingan. Tommy, kucing yang kerjaannya molor mulu itu kini lagi lari-larian ngejar capung. Senang juga bisa keluar. Terkurung di unit apartemen selama berbulan-bulan emang bikin pengap.

Tempat ini sejuk banget. Asri. Rerumputan menghias sejauh mata memandang. Beberapa tenda, juga tikar, tergelar di sana. Cuaca nggak terlalu panas, nggak dingin juga. Pas banget. Membikin suasana jadi damai.

Yang paling penting, di sini pengunjungnya dibatasi. Jadi, nggak terlalu ramai.

Nayla menggerakkan kepala. Mencari posisi yang enak di bahunya Zayn. Menyaksikan Tommy loncat-loncat. Zayn balas memeluknya.

"Kalau gue nolak lo waktu itu, lo gimana? Mungkin nggak, lo bakal beralih ke Inggie?"

Mendengar pertanyaan Nayla, Zayn kontan mengernyit. Seriusan nanya begituan? Padahal, Nayla juga tahu kalau Inggie itu bukan tipe Zayn banget. "Ofc enggak."

"Kalau cewek lain? Zizah misal." Nayla mendongak. Natap Zayn.

"Enggak ada cewek lain. Kenapa nanya gitu?"

Nayla mengalihkan pandangan ke Tommy lagi. "Penasaran aja. Sampai kapan lo mau ngejar-ngejar gue? Apa lo bisa kayak Jay yang betah bertahun-tahun ngekorin Mimi mulu?"

"Itu tergantung."

"Tergantung apa?" Nayla mendongak lagi.

Zayn balas menatapnya. "Tergantung lo milih buat punya pacaran atau enggak. Atau lo mau ngegantungin gue terus?"

"Jelasin satu-satu."

"Kalau lo punya pacar, gue mundur. Kalau enggak, gue kejar ke mana pun."

"Lo rela ngelepasin gue cuma karena gue punya pacar?"

"Kalau lo sayang sama pacar lo, gue bisa apa? Tingkat paling agung dalam mencintai seseorang itu adalah melepaskan. Gue nggak mungkin maksain lo buat suka sama gue. Meski, ya, gue juga nggak mungkin biarin lo pergi gitu aja. Intinya, gue bakal berusaha buat ngerelain lo hidup sama orang yang lo sayang."

"Kalau orang itu Jay?"

Zayn menepuk bahu Nayla. "Kenapa harus Jay, sih?" kayak nggak ada cowok lain aja di bumi ini.

"Karena Jay kaya. Gue suka cowok tajir."

Hadeh, dasar mata duitan. "Kalau gue nggak tajir, lo nggak mau sama gue?"

"Tergantung."

"Pada?"

Nayla mencubit pipinya Zayn. "Meski kaum proletar, kalau secakep ini, dan mau kerja, not bad-lah."

Zayn menggamit tangan Nayla. Mengecup keningnya. "Untung gue punya marga borjuis."

Nayla mesem doang.

"Makan, yuk, laper." Zayn mengelus perutnya. Tapi, menggunakan tangan Nayla yang masih dia genggam. Ini anak modusnya kebangetan emang.

"Belum sarapan?"

"Belum." Tadi mau masak males banget. Apalagi karena ada Mizun, yang katanya mau jemput Jay, tapi, waktu sampai malah ikutan nonton TV. Zayn jadi males makan.

"Ya ampun." Nayla tiba-tiba menjauh. Sampai Zayn terkejut sendiri dibuatnya. "Kok, nggak bilang dari tadi? Kalau lo bilang belum makan, gue 'kan bisa siapin lo sarapan dulu tadi di rumah. Ini udah jam berapa coba?" tangan Nayla sibuk ngebongkar bento buatannya. Sementara, bibirnya sibuk ngoceh-ngoceh kayak emak-emak. "Kalau perut lo sakit, gimana? Kalau lo pingsan, gimana? Emang lo mau punya penyakit mag?"

Hi, Amberlyyn! (✓) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang