19 Trust Me

52 7 0
                                    

Nayla nunjukin perubahan yang drastis. Mukanya masam, tubuhnya lemes banget, dan matanya kelihatan kayak nggak sudi buat lihat manusia-manusia yang terus lalu-lalang. Selama acara berlangsung, Nayla lebih banyak diam. Membuat orang-orang di sekitarnya merasa seolah ada gumpalan awan abu di sekeliling Nayla, yang kalau dideketin, bisa ngeluarin petir dan nyambar siapa pun yang berani ngeganggu dia.

Jujur, Zayn cemas. Meski udah berusaha buat mengerti, Zayn tetap nggak bisa membuat Nayla menjadi lebih baik. Tapi, syukurlah, setidaknya Nayla nggak nolak waktu Zayn nawarin buat ngantar dia pulang setelah acara bazar dan pensi selesai.

Waktu turun dari motor Zayn, Nayla menyerahkan helm tanpa mau menegakkan kepala. Tatapannya kosong. Zayn nggak bisa ngebiarin Nayla ngehabisin waktu semalaman buat merenung sendirian dan akhirnya menangis sampai pagi.

Sebelum Nayla pergi, Zayn ikut turun dari motornya. "Mau main ke apartemen gue?"

Nayla menoleh, mengerutkan dahi. Zayn segera menyadari kalau pertanyaannya konyol banget. Jadi, dia membuat alasan, "Mungkin lo mau nonton film, atau dinner sama Tommy. Lo udah lama nggak ngunjungin Tommy."

Sekian lama Zayn nunggu, Nayla cuma membalas tatapannya tanpa bereaksi. Dan itu membuat Zayn menahan napas. "Atau lo mau pergi ke RS? Gue temenin."

"Enggak."

Mendengar jawaban yang kesusu dan keterlaluan tegas itu, Zayn tambah tegang. Nayla marah. Bukan cuma sama Bhas, tapi, Zayn, dan Jay cs juga.

"Kalau gitu, mungkin lo mau ketemu Tommy. Dia udah tambah besar." Zayn nggak ngerti kenapa dia mengatakan hal seperti itu. Tapi, hanya itu yang bisa Zayn pikirkan untuk membuat Nayla tertarik. Nggak mungkin Zayn bilang buat ke apartemen dan nonton film berdua di sofa sambil cuddling.

Di luar dugaan, Nayla ngangguk sekilas. "Oke."

Zayn langsung mesem. "Nanti gue jemput."

Nayla mengiakan lagi. Dan dada Zayn rasanya makin menghangat. Setidaknya, buat malam ini, selama Bhas belum pulang, Nayla punya seseorang di sampingnya. Dan Zayn mau orang itu adalah dirinya.

Sekitar pukul delapan malam, keduanya baru sampai di apartemen. Langsung disambut sama Tommy yang mengeong menghampiri pintu utama. Berbaring di atas kaki Nayla dan ngedusel di punggung kaki yang masih terbalut sepatu karet itu.

Nayla berjongkok, meraih Tommy, menggendongnya.

"Kayaknya dia juga kangen sama lo." Setelah melepas sandalnya, Zayn memilih berjalan ke dapur saat Nayla membawa Tommy ke sofa.

Nayla memperhatikan Zayn. Bertanya-tanya apa maksud kata 'juga' dalam ucapannya. Tapi, Zayn nggak ngerasa harus menjelaskan. Jadi, Nayla diam saja.

"Kopi, jus, atau yang lain?"

"Tea, please," tawar Nayla.

Zayn segera mengambil cangkir. Menyeduh air dan membuatkan teh. Zayn membawa cangkir itu ke meja, dengan satu cangkir double shot espresso miliknya. Sengaja duduk di sisi lain sofa panjang, sebelahan sama Nayla.

"Mau nonton apa?" Zayn mengambil remot. Sebelum Nayla menjawab, dia udah nyalain televisi.

Siaran ulang pertandingan bola.

Nayla mengambil cangkirnya dengan dua tangan. Membiarkan hangat dari teh itu merambat ke sela-sela jemarinya. Rasanya lebih aneh dari terakhir kali dia mengunjungi apartemen ini. Nayla nggak bisa nyangkal, suasana canggung ini benar-benar mengganggu. Apalagi dengan posisi Zayn yang berada di satu sofa dengannya. Yang kini menghadap ke arahnya karena Nayla duduk di sebelah televisi.

Hi, Amberlyyn! (✓) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang