Keping 8 : Kandang Buaya

42 4 0
                                    

"Maaf." Nayla mencicit. Pasalnya, sehabis pertengkaran yang terjadi di kamar Zayn itu, Nayla nggak sengaja ngerusakin miniatur Ironman. Kepala Tony Stark kepisah dari badannya. Kasihan banget.

Zayn mengulum bibir. Gimana, ya? Mau marah, kok, sayang. "Ganti rugi."

Nayla mengkerut. "Tapi, gue nggak punya duit. Pasti harganya mehong banget, 'kan?"

"Siapa bilang lo harus ganti pakai duit?"

"Terus, pakai apa? Jangan bilang lo mau ngambil rumah gue buat dijual terus beli miniatur yang baru. Keluarga gue mau tinggal di mana, dong?"

Zayn menghela napas dan melirik Nayla sekilas. Males banget ngeladenin Nayla yang keterlaluan nyebelin ini. Zayn menyentuh pipinya pakai telunjuk. "Cium sepuluh kali."

Idih. Nayla mengernyit. "Lo beneran marah atau cuma pengin modus, sih?"

"Kalau lo nggak mau dimaafin, ya, udah." Zayn kembali fokus nyetir.

Emang, dah, ni anak. Kalau nggak diturutin, bisa ngambek satu abad. "Iya, deh. Tapi, sekali aja, ya?" tawar Nayla.

"Lima."

"Tiga."

Tiga kali doang juga untungnya tetap di Zayn. Cowok itu mengangguk.

Nayla menghela napas. Menarik baju Zayn biar tu cowok deketan. Zayn nurut, memiringkan badannya, mendekatkan kepalanya ke Nayla. Gadis itu mengangkat tubuhnya. Ngelirik Tommy yang lagi ngeringkuk di kursi belakang. Takut mata anaknya yang polos jadi ternoda.

"Satu." Zayn menghitung. Emang dasar mata keranjang.

Nayla menciumnya lagi.

"Dua."

Hadeh, Nayla pengin nangis. Malu. Rasanya kayak dipaksa nyium om-om.

Baru juga mau menuntaskan ciuman ketiganya, Nayla yang udah monyongin bibir dikejutkan dengan Zayn yang tiba-tiba noleh. Membuat ciuman yang harusnya mendarat di pipi, jadinya malah kena bibir.

Nayla langsung melotot. Buru-buru duduk di kursinya seperti semula. Padahal, ini bukan pertama kalinya mereka ciuman. Tapi, malu-malu kudanilnya, kok, masih sama, ya?

Zayn mesem. "Gue maafin."

.
.
.

***
.
.
.

Keluarga besar Mimi mendiami sebuah kawasan elit di daerah Kotagede. Joglo-joglo berdiri gagah memenuhi sisi jalan besar. Atapnya memuncak di bagian tengah, membuatnya tampak megah dengan konsul kayu ukir yang menarik.

Keluarga Mimi menempati joglo paling besar di antara sekelilingnya. Menjelaskan strata sosialnya di kalangan masyarakat sekitar. Joglo itu dibatasi pagar tinggi dengan satu pintu gerbang utama.

Berbagai macam tanaman menghias pelataran. Pot-pot tanaman indoor juga memenuhi sudut-sudut rumah. Secara keseluruhan, rumah ini mengusung unsur tradisional yang kental. Lantai, kursi, meja, lemari, hingga dekorasi, terbuat dari kayu. Menciptakan suasana alami yang hangat.

Hampir semua keluarga besar Mimi ada di sini. Mbah Ti, pakde-bude, sepupu, abah-umi, bahkan ponakan.

Setiap lebaran, saudara jauh atau anggota keluarga yang memilih merantau, pasti balik ke rumah ini. Rumah ini sudah ramai di hari-hari biasa. Apalagi, kalau ada acara-acara besar. Ruang keluarga nggak akan sanggup nampung seluruh anggota besar keluarga Brawijaya. Mimi bahkan_sering_sampai nggak tahu nama orang yang numpang tidur di kamarnya.

Soalnya, kalau pulang ke Jogja, kebanyakan anggota keluarga suka ngajak teman, kolega, atau kenalannya.

Begitu mobil sewaan abah berhenti di halaman, Endra, sepupu Mimi, langsung menyambut. Menghalangi jalan lebih tepatnya. Meringis, mempertontonkan deretan giginya yang dibehel.

Hi, Amberlyyn! (✓) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang