Keping 16 : Misi Menyelamatkan Mimi 1

27 2 0
                                    

"So find another fool like before||Cause I ain't gonna live anymore believing||Some of the lies while all of the signs are deceiving."

Lagu yang terputar dari radio butut yang sudah ada di kantor semenjak zaman penjajahan itu, membuat Pak Didik sayup-sayup ikut bernyanyi dengan logat Sunda yang kental banget. Membuat kata-kata yang keluar dari mulutnya lebih enak disebut dugem versi barat, ketimbang nyanyi lagu barat.

Kantor pagi ini emang masih sepi. Hanya ada beberapa guru yang sudah mengisi meja masing-masing. Pak Didik yang jiwanya sudah renta, sama kayak usia dan rambutnya yang penuh uban, berjalan menyusuri tiap meja kosong, membawa-bawa kertas dan buku, menaruhnya ke atas meja paling pojok, kemudian balik ke mejanya sendiri sambil sesekali menggoyangkan pinggul mengikuti irama.

"I am the eye in the sky||Looking at you||I can read your mind."

"Pak?"

Langkah Pak Didik terhenti. Badannya yang tadi goyang-goyang juga jadi diam. Pak Didik mengerjap ketika melihat Zayn berdiri di pintu masuk.

"Ya." Pak Didik menurunkan tangannya yang tadi sempat terangkat karena keasyikan. Merapikan kemejanya dan memasang wajah sangar ala Pak Didik.

"Ini jadwal acara dua hari ke depan." Zayn menyerahkan proposal ke meja Pak Didik.

Pria paruh baya itu segera duduk di kursinya. Membuka proposal tersebut.

"Besok acara debat sama penyampaian visi-misi. Lusa pemilihan ketua OSIS. Alih jabatan hari senin."

Pak Didik mengangguk. "Siapkan segalanya dengan matang. Jangan sampai ada bentrok dari kubu yang berbeda pilihan. Kalau memerlukan bantuan, tinggal hubungi saya."

Zayn mengangguk. Dia segera berlalu dari hadapan Pak Didik. Biar gurunya itu bisa meneruskan joget paginya.

Di tengah jalan menuju kelas, Zayn bertemu dengan Mimi. Mereka sempat terdiam waktu papasan. Kelihatan banget kalau Mimi jadi merasa nggak enak ketemu sama Zayn.

Sebagai kubu netral, Zayn berinisiatif nyapa lebih dulu. Mengikuti Mimi yang katanya mau ke perpus.

"Gimana masalah lo sama Jay?"

Ditanya begitu, Mimi kontan melotot. Zayn ini sukanya emang to the point. Mana ada dia ngerasa nggak enak sama orang lain. Yang penting maksudnya tersampaikan sesegera mungkin.

"Ya, gitu." Gimana, ya? Mungkin udah bersambung sejak Jay bilang mau nyerah.

"Jay itu emang nggak pantes dikasih kepercayaan. Semua orang juga tahu dia kayak gimana. Tapi, gue berani jamin. Dia beneran suka sama lo." Zayn tersenyum atas perkataannya sendiri. "Dia nggak main-main sama perasaannya ke lo."

Mimi melongo. Ini dia yang salah dengar atau Zayn yang salah sarapan? Zayn ngajak bicara Mimi aja udah sesuatu banget. Apalagi ngurusin masalah percintaannya. Agak lain ini bocah.

Nggak mungkin Zayn dipaksa sama Jay, 'kan!?

Secara, orang kayak Zayn nggak mungkin bisa dipengaruhi sama Jay. Satu-satunya orang yang bisa memengaruhi Zayn itu cuma cewek introvert yang bisa jadi hiperaktif kalau lagi di samping orang-orang yang bisa membuatnya nyaman.

Cewek yang yang saat ini, di ujung koridor sana, lagi melambaikan tangan sambil tersenyum lebar sampai seluruh giginya kelihatan.

Zayn membalas lambaian tangan Nayla sambil tersenyum. Senyum paling tulus yang pernah Mimi lihat dari seorang Zayn.

"Semoga hubungan di antara kalian segera membaik." Zayn menepuk bahu Mimi.

Mimi membeku di tempat. Menyaksikan Zayn berlari ke arah Nayla. Merangkul bahu cewek itu dan menepuk-nepuk kepalanya dengan penuh cinta. Dan senyum yang jarang banget kelihatan itu jadi terpajang lebih lama di depan Nayla.

Hi, Amberlyyn! (✓) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang