14 Wrongful Rendezvous

56 7 0
                                    

"Nayla dari tadi malem nggak mau keluar. Coba samperin sendiri. Siapa tahu kalau dibujuk kamu, dia mau bicara."

Setelah semalaman nahan diri buat nggak nyamperin Nayla, pagi ini Bhas udah nggak tahan lagi. Begitu bangun dan bersih-bersih badan, Bhas akhirnya berkunjung ke rumah Nayla juga.

Tante Katrina, mamanya Nayla, nyuruh Bhas buat samperin Nayla langsung ke kamar. Soalnya, sejak pulang kemarin malam, Nayla ngunci diri. Tante Katrina sampai pusing. Dipanggil nggak nyahut. Diketuk pintunya, diam aja.

Karena kemarin malam Nayla keluar dengan Bhas, Tante Katrina jadi berpikir mungkin Bhas tahu apa yang sedang terjadi dengan anaknya itu.

Nayla itu emang suka ngambekan. Kesal dikit pasti ngunci diri di kamar. Dan selama ini, emang cuma Bhas yang bisa ngebujuk Nayla.

Karena Nayla itu anak tunggal, Katrina paham kalau anaknya ngerasa kesepian. Apalagi saat setiap hari harus ditinggal mama sama papanya kerja. Satu-satunya yang paling dekat dengan Nayla selain keluarganya, ya, cuma Bhas.

Bhas naik ke lantai dua. Berhenti di depan pintu kamar Nayla. Mengetuknya pelan. "Nay, ini gue."

Nggak ada sahutan.

"Nay, setidaknya keluar dulu, sarapan. Lo nggak laper?"

Masih hening.

Bhas mulai negative thinking. "Lo nggak berniat bundir 'kan, Nay?" Bhas berbisik, "sorry to say, tapi, lo masih utang ayam geprek seporsi. Duit gue yang lo pinjem buat beli pembalut juga belum dikembaliin. Dan gue harap lo inget, terakhir kali main ke rental ps, yang bayarin gue. Lo inget 'kan berapa jam lo main?"

Nggak lama, gagang pintu itu bergerak. Perlahan, daun pintunya terbuka. Nayla berdiri di ambang pintu. Masih makai baju yang dia pakai terakhir kali mereka ketemu. Menjelaskan kalau Nayla bahkan nggak mandi sama sekali sejak kemarin malam.

Dan lihatlah bagaimana penampilannya. Mata Nayla sembab. Kantung matanya menghitam. Hidungnya merah banget kayak badut. Rambutnya berantakan. Ya, untuk mandi aja Nayla nggak mau. Apalagi hal sepele kayak nyisir rambut.

Nayla masuk kembali ke kamarnya tanpa menutup pintu. Memberi izin pada Bhas buat masuk tanpa mengatakan apa pun.

Bhas ikut Nayla duduk di tepi ranjang. "Sorry." Bhas nggak tahu harus ngomong apa. Dan kenapa juga dia harus meminta maaf. Bhas cuma ngerasa ikut andil dalam kejadian tadi malam. Mungkin kalau Bhas balik lebih cepat, Nayla nggak perlu ngehadapin manusia bernama Raka. Setidaknya, Bhas bakal ngebawa Nayla pergi sebelum Raka mengatakan apa pun.

"Gue harusnya nggak selemah itu. Semua udah berlalu, tapi, gue masih aja takut walaupun cuma denger suaranya doang." Nayla menunduk.

Ya Tuhan, Bhas nggak sanggup. Kalau saja dia berhak, Bhas pengin banget ngerengkuh Nayla dan bilang semua baik-baik saja sekarang. Bahwa Bhas siap lebih keras dalam ngejagain Nayla mulai saat ini. Dan bahwa yang lain juga ingin menjaga Nayla. Teman-teman Bhas pengin ngelindungi Nayla dari Raka.

"Ini bukan salah lo. Orang bangsat kayak dia nggak pantes ditakutin. Dia itu pantesnya dikubur hidup-hidup, Nay. Lo nggak perlu takut. I won't let him intimidating you. I'm not gonna let that happen again."

Bhas mendekat. Menepuk-nepuk bahu Nayla. "Mandi, gih. Gue tunggu di bawah."

.
.
.

***
.
.
.

Dua hari sebelum bazar dimulai, rapat OSIS kembali diadakan. Meski agak canggung buat ketemu Zayn, Nayla nggak bisa ngehindar. Dia toh punya tanggung jawab yang lebih penting daripada masalah pribadinya.

Hi, Amberlyyn! (✓) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang