Sekolah bubar lebih awal hari ini. Zayn sama Nayla rencana mau jalan-jalan. Memenuhi keinginan Nayla beberapa hari lalu yang tertunda karena Zayn kelupaan. Tu anak malah pergi kerja waktu janjian jalan-jalan keluar sama Nayla. Alhasil, Nayla ngambek semalaman. Tapi, langsung mereda waktu dirayu-rayu sama Zayn, dengan embel-embel semangkuk seblak.
Gampang meredakan emosi Nayla, mah. Tinggal beliin bakso doang, langsung baikan. Zayn jadi nggak perlu repot debat-debat segala.
"Lo yakin nggak mau ikut nongkrong sama gue?" tanya Bhas pada Nayla. Mereka lagi kumpul di parkiran buat ngambil motor. Nayla, si, nungguin Zayn doang.
"Enggak, gue mau motoran sama ayang." Nayla mesem. Untung Zayn parkir agak jauhan. Coba kalau dia dengar, bisa sesak napas saking senangnya dipanggil ayang. Mana muka Nayla semringah banget gitu. Tambah cantik.
"Serah lu, deh." Bhas makai helmnya.
Di sisi lain, Jay lagi nungguin Mimi yang lagi jalan ke arah gerbang, yang kebetulan harus ngelewatin tempat parkir. Jay terpaksa harus narik tangannya setelah dipanggil-panggil nggak mau nyahut, tu cewek nunduk mulu dari tadi. Takut kesandung apa gimana?
"Gue punya helm baru, kalau mau bonceng nggak perlu takut ditilang lagi. Gue anterin pulang, yok."
Masih dengan kepala menunduk, Mimi melepas pegangan Jay. "Aku pulang sendiri aja," ujarnya, sembari berlalu. Namun, tangannya keburu dicekal lagi sama Jay.
"Gue anter, lo nggak tahu gue bela-belain beli helm cuma buat lo?"
"Aku naik bus aja, nggak mau ngerepotin."
"Nggak ngerepotin, pokoknya lo harus balik sama gue."
Mimi menghela napas, berusaha mengumpulkan energi, debat sama Jay, dalam keadaan pikiran yang lagi ruwet-ruwetnya ini memang menguras tenaga banget. Capek. "Kamu nggak bisa maksa gitu. Aku berhak milih buat pulang sendiri." Mimi kemudian bergumam, "lagian aku nggak nyuruh kamu buat beli helm."
"Kan, elo yang bilang nggak mau gue bonceng kalau gue cuma punya satu helm." Gimana, sih?
"Itu karena aku emang nggak mau dibonceng sama kamu. Mau ada satu atau dua helm, aku tetap nggak mau."
Jay mengatupkan rahang. "Sampai kapan lo mau permainin gue kayak gini?"
Mimi mengernyit.
"Kemarin lo bertingkah seolah lo suka dapat perhatian dari gue. Sekarang lo bahkan nggak sudi hadap-hadapan sama gue. Mau lo apa, sih?"
Jangankan Jay, Mimi bahkan nggak tahu apa yang sebenarnya dia inginkan. Mimi bukannya nggak sudi berhadapan sama Jay. Hanya saja, terlalu banyak hal yang harus dipertimbangin untuk memperbolehkan Jay memasuki kehidupannya.
"Gue capek." Suara Jay kedengeran lemah banget. Menusuk relung hati Mimi, seolah Jay lagi membagikan betapa lelahnya dia selama ini. "Gue udah pernah bilang, ngomong ke gue kalau lo emang nggak suka sama gue. Sesusah itu ngeringanin beban pikiran gue?"
Kalau saja Mimi bisa, kalau saja Mimi berhak, Mimi pengin megang tangan Jay, memeluknya dan mengatakan maaf. Tapi, bahkan di saat seperti ini, Mimi masih tetap egois. Tidak mau memikirkan perasaan Jay.
"Maaf," cicit Mimi. Membuat Jay makin nggak keruan.
Jay menghela napas. "Serah lo mau apa. Nyatanya, meski gue bilang mau nyerah pun, gue nggak bisa ngendaliin perasaan gue sendiri." Jay balik badan dan melenggang pergi. Meninggalkan Mimi yang masih bergeming di poros tempatnya berdiri.
Andai Mimi bisa melakukan apa yang Jay inginkan. Tapi, Mimi bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya hatinya rasakan.
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi, Amberlyyn! (✓)
RomanceGimana rasanya dicintai sama makhluk ajaib? Ketua OSIS yang songong dan kejam kayak psikopat. Ketua geng motor yang kalau gabut kerjaannya gibahin orang. Mana yang akan kamu pilih? _______ Jul 2023, IshtarWinter