Keping 30 : Why Me?

17 2 0
                                    

Pulang sekolah, Nayla sengaja nungguin Mimi di depan gerbang. Tadi sebenarnya mau nungguin di depan kelas. Tapi, enek banget ketemu Jay.

Untung Zayn harus menghadap kepsek dulu setelah bel pulang, jadi, Nayla nggak perlu ngejelasin kejadian pagi tadi kepadanya.

Dari semua siswa yang lalu-lalang, mata Nayla menangkap seorang cewek berkerudung, sedang berjalan menuju gerbang. Matanya sembap, dan hidungnya merah. Wajahnya pucat. Kelihatan banget kalau habis nangis. Meskipun udah ditutupin dengan nunduk terus.

Nayla langsung mencegatnya. Dilihat dari dekat, keadaan Mimi lebih parah. Muka itu kusut banget. Nggak kayak Mimi yang setiap hari kelihatan cantik, adem ayem, lemah lembut. "Ada yang harus gue omongin."

Mimi menegakkan kepala waktu Nayla menggamit kedua tangannya.

Setelah menguatkan diri dengan menarik napas, Nayla akhirnya berkata, "Gue lihat apa yang Jay lakuin di gudang pagi ini. Dan gue tahu lo ada di sana." Nayla menatap Mimi tanpa berkedip. Menyaksikan gimana reaksi Mimi.

Cewek itu balas menatap Nayla tanpa mengatakan apa pun. Antara nggak percaya, dan nggak sanggup. Nayla melihatnya, Mimi kecewa, sakit hati, dan capek.

"Lo nggak papa?"

Mimi menggeleng. "Aku baik-baik aja. Aku mau pulang, udah ditungguin Pakde." Mimi baru akan menjauh, tapi, Nayla menahan tangannya.

"Mimi, gue tahu Jay emang bangsat, tapi ..."

Siapa sangka Jay akan berbuat hal nggak senonoh di sekolah? Dengan manusia paling menyebalkan sejagat raya bernama Inggie.

"Aku tahu." Mimi memotong perkataan Nayla. "Aku nggak peduli. Aku cuma terkejut, dan semua itu bukan urusanku." Pandangannya beralih ke sembarang arah. Mimi menarik tangannya. "Aku udah ditungguin Pakde. Aku pulang dulu."

Nayla menatap kepergian Mimi sambil menghela napas pasrah. Mau membela bagaimanapun, kelakuan Jay itu sama sekali nggak pantes diberi pengertian.

Si bangsat itu lebih patut diceburin ke sumur. Nggak boleh dikasih ampun.

.
.
.

***
.
.
.

Pakde melirik ponakannya berkali-kali. Anak yang biasanya ceria saat bersamanya itu sekarang jadi lebih pendiam. Bahkan, sama sekali nggak berbasa-basi dari tadi. Mimi hanya melihat keluar jendela. Menatap deretan plang-plang toko, orang-orang yang lalu-lalang, juga padatnya jalan sore hari.

Nggak tahu apa yang salah, Mimi kelihatan capek banget. Pakde ngerasa kalau ponakannya ini lagi banyak pikiran.

"Bude minta Pakde buat beli makan malam tadi. Kamu mau makan apa? Biar Pakde belikan sekalian."

Mimi menoleh sekilas, lalu, balik membuang pandangan lagi. "Terserah Pakde," jawabnya.

"Kalau gitu, beli nasi Padang dekat-dekat rumah aja, ya?"

"Iya."

Mobil berhenti di depan warung Padang yang cukup ramai. Pakde pesan tiga bungkus. Mimi menunggunya di dekat mobil. Sengaja nggak ikut ke dalam warung karena nggak mau desak-desakan sama pelanggan lain.

Setelah pesanan siap, mereka akhirnya pulang. Sampai rumah, Mimi sama Pakde dibuat heran dengan keberadaan mobil lain yang terparkir di depan rumah. Pakde cuma punya satu mobil, dan dia jarang sekali nerima tamu karena Pakde emang bukan orang yang punya banyak teman. Jadi, agak mengherankan kalau mereka kedatangan tamu tanpa diundang begini.

Masuk rumah, Mimi langsung diperlihatkan dengan dua orang yang duduk deketan di sofa. Membuatnya makin mengernyit. "Mas, kok, di sini?"

Dirga menyalami Pakde, sementara Mimi hanya diam melihatnya. Dirga berdiri dekat Pakde dengan pandangan ke arah adiknya. Dari raut wajahnya saja, Mimi seolah bisa menerka apa yang sedang terjadi. Yang pasti, itu bukan hal baik.

Hi, Amberlyyn! (✓) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang