23 First Kiss

93 8 0
                                    

Sejak pagi, perut Nayla kram. Lambungnya juga sakit banget. She's on her period. Emang selalu begini tiap bulannya. Sakit nggak ketulung. Sampai kepala rasanya pusing banget. Sebenarnya, Nayla pengin absen, minimal seharilah. Tapi, mengingat dia yang bertanggung jawab sebagai supirnya Bhas sekarang, dia jadi nggak bisa izin.

Kasihan Bhas, tu anak pengin banget sekolah. Pengin banget bebas dari pengawasan mamanya.

Tapi, beneran, Nayla rasanya nggak kuat buat jalan doang. Pengin tiduran terus dipijitin.

Selama jam pelajaran olahraga, Nayla cuma duduk di pinggir lapangan, di podium penonton. Sama sekali nggak tertarik buat gabung main bola sama teman-teman sekelasnya yang lain.

Beberapa menit duduk-duduk doang, Nayla udah pengin kabur aja. Tapi, nggak ada seorang pun di sekitarnya buat dimintai izin nanti kalau guru datang. Zizah ada di tengah lapangan, lagi asyik main sama yang lain. Terpaksa Nayla turun buat bilang ke Zizah.

Setelah Zizah mengiakan, Nayla akhirnya pergi ke UKS. Tadi Zizah ngeyel pengin nganterin Nayla, tapi, Nayla larang. Nayla toh masih bisa jalan sendiri. Dan Zizah harus ikut pelajaran olahraga sama yang lain.

Di UKS, Nayla merebahkan tubuhnya. Rasanya lega sekali. Meski sebentar saja, kramnya udah balik lagi. Tapi, lumayan daripada tadi. Demi melupakan rasa nggak nyaman pada lambungnya, Nayla memejamkan mata. Berharap bisa terlelap sebentar saja.

Entah pukul berapa, Nayla terjaga karena suara pintu terbuka. Sepertinya ada orang yang masuk. Tapi, matanya terlalu berat untuk sekadar melihat siapa yang datang. Jadi, Nayla abaikan saja dan kembali terlelap.

Namun, belum genap lima menit, suara gaduh sampai ke telinga Nayla. Kali ini benar-benar membangunkannya. Gorden yang menutupi brankar yang ditiduri Nayla terbuka. Sosok yang akrab dalam ingatan Nayla, berdiri di kaki brankar dan tampak khawatir.

"Nayla." Bhas langsung memegang bahu Nayla. "Lo kenapa? Pusing? Tensi lo turun lagi? Aduh, gimana, dong, gue belum bisa nyetir motor. Harus ke rumah sakit, kagak? Gue bawa anak-anak. Tinggal pilih mau yang mana? Biar kita anterin lo ke RS, ya!?"

"Bhas!" Telinga Nayla sampai berdenging. Untung Bhas terdiam setelah Nayla memanggilnya dengan suara agak keras. Kalau enggak, Nayla bakal lempar tu anak ke got sekalian. Biar diam.

Sambil duduk, Nayla memandang orang-orang yang berdiri mengelilingi brankarnya itu.

Pandangan Nayla berakhir pada Bhas. "Gue baik-baik aja, oke? Lagian, ngapain ngajakin mereka segala?"

"Gue khawatir tensi lo turun lagi. Makanya, gue bawa orang-orang yang sekiranya bisa bantu."

"Lo ngapain di UKS?" tanya Jay.

"Jangan bilang lo cuma mau numpang tidur?" Mizun menduga.

Kalau lagi sehat, Nayla pasti udah noyor kepalanya. "Perut gue kram. Kalian, kok, tahu gue di sini?"

"Nay." Zizah keluar dari belakang tubuh Jay dan Bobi. Melambaikan tangan sambil mesam-mesem. "Sebenarnya, gue mau jelasin. Tapi, mereka keburu pengin lihat keadaan lo. Jadi, nggak sempet. Hehe."

Satu lagi manusia yang pengin Nayla tampol. Nayla menghela napas.

"Gimana sekarang? Udah baikan?" Bhas ngebantu ngerapihin rambut Nayla yang kusut.

Nayla mengangguk. "Lumayan."

"Perlu dibeliin obat?" tanya Naufal.

"Enggak, bentar lagi juga baik-baik aja."

"Sakit apa, sih? Diare? Konstipasi?"

"Datang bulan." Jay memotong perkataan Mizun. "Ya, 'kan?"

"Dari mana lo tahu?" Nayla mengernyit. Karena Zizah nggak sempat ngejelasin, harusnya Jay nggak tahu kalau Nayla sakit karena mens.

Hi, Amberlyyn! (✓) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang