Keping 14 : Portrait

37 3 0
                                    

Mimi duduk di sofa ruang tengah dengan gelisah. Budenya tadi memanggil, katanya ada sesuatu yang ingin dia bicarakan. Mimi disuruh menunggu di ruang tengah setelah makan malam.

Ini pasti soal apa yang abah katakan tempo hari. Mimi yakin.

Budenya memang jadi lebih diam akhir-akhir ini, mungkin karena bude sedang mempertimbangkan perkataan abah. Apa sekarang bude sudah mengambil keputusan?

Jujur saja, Mimi juga akan bimbang jika diberi pilihan untuk pergi atau tetap tinggal. Mimi ingin ada di samping Mbah Ti, tapi, dia juga tidak ingin meninggalkan semua orang yang dia kenal di kota ini.

Kalau Mimi pindah, dia harus merelakan semuanya. Sekolah, teman, bude-pakde, Nayla-Zizah. Mimi bahkan baru berteman dengan dua gadis itu. Rasanya Mimi nggak akan sanggup meninggalkan kenangannya di Bandung.

Tapi, kalau Mimi nggak pergi, bagaimana dengan Mbah Ti?

Mimi nggak bisa bersikap egois.

Bude Ranty dan Pakde Ridwan keluar dari kamar. Berjalan beriringan menuju ruang tengah. Bude Ranty duduk di satu sofa bersama Mimi. Pakde duduk di seberang.

Situasi ini mengingatkan Mimi pada masa di mana bude datang ke Jogja untuk meminta membawa Mimi pada abah. Saat itu, Mimi sampai menangis di depan Umi karena nggak mau berpisah dengan keluarganya. Tapi, Mimi tetap pergi demi semua orang.

Dan sekarang, waktu mendistorsi segalanya. Mimi lebih ingin tetap tinggal bersama bude ketimbang kembali ke Jogja.

"Abah bilang ke Bude kalau Mbah Ti pengin kamu pulang." Bude mengawali perbincangan. "Mbah Ti pengin kamu tinggal di Jogja." Bude menggamit tangan Mimi. "Bude nggak akan nuntut kamu untuk terus di sini kalau kamu nggak mau. Kamu boleh pulang kapan saja."

"Bude mau ngelepasin Mimi untuk selamanya?"

Mendengar reaksi Mimi, bude sedikit terkejut. Dia memandang pakde untuk mencari kekuatan. "Keputusan ada di tangan kamu. Bude nggak mau nuntut apa pun."

"Menurut Bude, apa aku harusnya pulang dan ninggalin sekolahku yang bentar lagi akan lulus?"

"Pakde sama Bude penginnya kamu lulus dulu baru pindah Jogja. Tapi, kalau kamu mau balik sekarang, nggak masalah. Nanti Pakde yang urus semuanya," ujar pakde, yang tak luput dari lirikan bude.

Mimi tahu, bude takut Mimi menyesal kalau sampai Mbah Ti kenapa-napa dan Mimi nggak jadi pulang. "Mimi baru dapat teman. Yang kemarin ke sini itu, Mimi baru aja temenan sama mereka." Mimi nggak mau kehilangan mereka.

Bude bertatapan dengan pakde lagi. Keduanya saling berbicara tanpa mengatakan apa pun. Cukup lewat pandangan mata. Pakde mengangguk, mencoba menenangkan bude yang nggak tahu harus bereaksi bagaimana.

"Kalau kamu mau di sini untuk sementara waktu, sampai sekolah kamu lulus, kamu bisa tinggal di sini. Biar Pakde yang bilang ke Abah nanti."

"Kamu jangan merasa terbebani." Bude menepuk bahu Mimi. "Kamu berhak memilih apa yang mau kamu lakukan."

Karena Mimi nggak tahu lagi harus mengatakan apa, Mimi akhirnya memeluk bude. Merasakan hangatnya wanita yang sudah merawatnya selama lima setengah tahun terakhir ini.

Bude membalas pelukan ponakannya itu.

.
.
.

***
.
.
.

Ruang seni.

Sebelumnya, Mimi jarang memasuki ruangan ini. Meski dia suka menggambar dan cukup mahir melukis, Mimi memutuskan untuk tidak ikut ekskul seni karena dia lebih ingin masuk OSIS. Mimi nggak mau pelajaran pokoknya terhambat kalau dia terlalu sibuk dengan organisasi dan ekskul.

Hi, Amberlyyn! (✓) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang