9 Gara-Gara Ceker

74 10 0
                                    

Di depan cermin kamarnya, Nayla memeriksa kepala. Berharap nggak ada satu helai pun rambutnya yang rontok. Jay emang banci! Bisa-bisanya cowok cool ngejambak rambut cewek.

Apesnya, kenapa Zayn datang di saat mereka lagi jambak-jambakan, sih? Kenapa harus di saat Nayla berada dalam keadaan yang nggak mengenakkan itu coba? Dan kenapa harus Zayn?

Shit! Nayla mengacak rambutnya sendiri. Entah apa yang akan Zayn pikirkan tentangnya. Pasti bukan sesuatu yang baik.

Ini semua gara-gara si Jay. Kalau dia bukan ketua geng, dan kalau Jay nggak kaya-kaya amat, Nayla nggak akan segan memberinya tendangan maut. Sayang, Nayla masih begitu mencintai hidupnya.

Nayla baru saja merebahkan diri di kasur saat ponselnya bergetar. Ada sebuah pesan masuk.

Zayn bukan Malik:
Besok jadi, 'kan?

Aduh, Nayla nepuk jidat. Gimana dia bisa lupa.

Nayla:
Jam berapa?

Zayn bukan Malik:
Sore?

Nayla:
Oke.

Zayn bukan Malik:
Oke, besok gue jemput.

Nayla melemparkan tangan beserta ponsel yang masih berada di genggaman, ke samping. Kemudian, menutup mata sebentar.

Lagi nggak mau mikirin apa pun. Tapi, otaknya malah terus-menerus menampilkan gambar ketika Zayn berdiri di dekat pintu kafe dan menatapnya sambil mengangkat kedua alis.

Ah, Nayla malu semalu malunya.

Apes banget harus ketemu Zayn di saat yang nggak tepat. Tapi, ya, sudahlah. Semuanya sudah terjadi. Mau ngulang waktu nggak bisa. Mau ngehapus memori Zayn juga nggak mungkin.

Nayla harus fokus sama hari esok. Besok weekend, dia bakal pergi sama Zayn. Bukan pergi yang kayak kencan gitu, sih, cuma nyari tenda. Tapi, tetap saja. Membikin hati nggak tenang.

Pergi berdua bersama Zayn. Gagasan yang nggak pernah masuk dalam bayangannya sekali pun.

Nayla menghela napas dalam. Berusaha menenangkan diri.

Setelah lelahnya berangsur menghilang, Nayla bangkit dan menuju kamar mandi. Menyikat gigi dan bersiap tidur.

.
.
.

***
.
.
.

Sesuai perjanjian tak tertulis yang sudah disepakati kedua belah pihak, Zayn datang ke rumah Nayla sore, sekitar pukul tiga. Zayn nggak bawa motor, melainkan mobil. Bentayga.

Mereka keliling-keliling Bandung guna nyari jasa sewa tenda buat stan.

Saat misi mereka selesai, mereka nggak langsung pulang. Melainkan mampir dulu buat nyari makan malam. Petang hari itu menggeser sore terlampau cepat. Zayn nggak enak kalau ngantar Nayla pulang tanpa ngasih kudapan buat perutnya yang udah keroncongan. Jadilah, mereka mampir ke rumah makan yang menjual ceker setan. Sesuai permintaan Nayla.

Dengan senyum merekah, Nayla memakan ceker yang dipenuhi sambal merah merona menggunakan tangan yang sudah dibungkus plastic gloves . "Wah, udah lama banget gue nggak ke sini. Rasanya masih sama, lezat," celoteh Nayla, di tengah kunyahannya.

Zayn hanya bisa memperhatikan Nayla sembari tersenyum simpul. Kemudian, melihat isi piringnya sendiri. Mendadak, Zayn ingin kabur.

"Kenapa nggak dimakan?" tanya Nayla yang lihat Zayn cuma natap ayamnya dengan kerutan di jidat. "Nggak suka daging ayam? Atau nggak doyan pedes? Ini nggak pedes-pedes amat, kok. Cuma level tiga. Sama sekali nggak pedas malah."

Hi, Amberlyyn! (✓) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang