Dengan selotip, Mimi memperbaiki lukisan yang ditinggalkan di sudut kelas itu. Menyatukan kanvas yang tersayat dari sudut kiri atas, turun ke kanan. Hanya satu goresan, tapi berhasil menghancurkan lukisan yang katanya indah itu. Hanya satu goresan. Tapi, tidak peduli betapa teliti cara yang digunakan untuk menyatukannya, kanvas itu tidak akan kembali seperti semula. Lukisan itu cacat.
Padahal, Mimi sudah berusaha melukisnya dengan sepenuh hati. Menuangkan segala hal yang dia rasakan ketika dia melihat Jay di ruang seni. Duduk di kursi kecil dan tertidur. Meninggalkan pertandingan basket yang seharusnya dia mainkan saat itu. Hanya untuk Mimi.
Atau untuk dirinya sendiri? Untuk siapa Jay melakukannya?
Mimi terjatuh. Tidak tahu mengapa hal ini begitu memengaruhi perasaannya. Tapi, melihat lukisan itu rusak, Mimi tidak kuasa untuk menahan tangis. Rasanya sakit sekali. Seolah lukisan itu berharga miliaran.
Padahal, lukisan itu hanya ingin dipajang di koridor sekolah. Bukan di galeri seni atau semacamnya. Kenapa orang-orang begitu menentang? Lukisan yang lain bukannya akan dibuang, melainkan akan dipajang di ruang seni. Kenapa hal itu jadi masalah besar? Bukankah yang unggul sudah seharusnya mendapat keistimewaan?
Kenapa Jay harus merobeknya?
Berjongkok di depan lukisan itu, Mimi terisak. Dia hanya tidak mengerti dengan orang-orang. Semua orang terlalu membingungkan. Manusia terlalu pelik untuk dimengerti.
Mimi menghapus air matanya. Berdiri dan mengambil kanvas itu dari easel. Membenarkan letak tali tas di bahunya dan berjalan keluar kelas.
Seluruh koridor sepi. Lampu-lampu mulai dinyalakan. Mimi bahkan tidak sadar berapa lama dia berdiam diri di kelas sendirian. Malam tiba begitu saja.
Di depan gerbang, Mimi mengeluarkan ponselnya dari tas. Ada panggilan tak terjawab dari Pakde Ridwan. Mimi memutuskan untuk men-dial nomor pakdenya itu. Mengabari kalau dia akan segera pulang. Agar orang rumah tidak perlu khawatir.
"Pakde jemput sekarang. Kamu tunggu di depan gerbang. Nggak usah naik bus, ya?" begitu jawab Pakde Ridwan.
Mimi mengiakan. Dia menunggu di depan gerbang sambil menepuk-nepuk pipinya. Berharap air yang menggenang di pelupuk matanya tidak terjatuh dan bertambah deras.
Sudah cukup. Mimi capek nangis. Matanya perih.
Baru akan berpindah ke seberang jalan, tepatnya di halte bus, untuk sekadar duduk, ponsel Mimi berdering, menandakan sebuah panggilan masuk.
Mas Dirga?
"Waalaikumsalam." Mimi menjawab 'halo'nya Mas Dirga dengan ucapan salam. Masnya emang agak seleweng kalau soal beginian.
"Dik?"
"Iya, tumben telepon. Ada apa?" sudah beberapa bulan ini mereka tidak saling berhubungan, bahkan, saat masnya itu memutuskan untuk merantau ke Jakarta, Mimi tahu juga dari abah. Masnya emang nggak suka membicarakan hal pribadinya kepada siapa pun.
"Enggak, cuma mau tahu kabarmu gimana?"
Mimi mengernyit. Menjauhkan ponselnya dari telinga dan menghela napas. "Aku baik. Mas gimana? Kerjaan lancar?"
Ada sedikit jeda sebelum Dirga menjawab, "Lancar, bentar lagi naik jabatan kayaknya." Dirga terkekeh. Kemudian, tidak lama, terdengar Dirga menghela napas berat di seberang sana. "Minggu kemarin kamu pulang ke Jogja?"
"Iya."
"Gimana keadaan Mbah Ti?"
"Baik." Masnya itu suka berlagak cuek, tapi, tetap peduli. Dia terlalu gengsi buat nanya ke anggota keluarga yang lain. Mimi adalah pilihan terbaik di saat-saat seperti ini. Di antara keluarganya yang lain, Dirga memang lebih dekat dengan Mimi. Begitu pula sebaliknya. "Mas nggak pulang Jogja?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi, Amberlyyn! (✓)
RomanceGimana rasanya dicintai sama makhluk ajaib? Ketua OSIS yang songong dan kejam kayak psikopat. Ketua geng motor yang kalau gabut kerjaannya gibahin orang. Mana yang akan kamu pilih? _______ Jul 2023, IshtarWinter