Keping 21 : Raja Buaya Darat

27 3 0
                                    

Zayn setengah mampus menahan diri buat nggak nyusul Nayla ke rumahnya. Acara debat sama penyampaian visi & misi baru selesai sore. Zayn beneran dibuat sibuk dengan acara itu. Jadi, kalau mau ke rumah Nayla lepas sekolah, Zayn takut ngeganggu istirahat Nayla.

Makanya, Zayn langsung pulang ke apart. Setelah mandi dan makai baju bersih, dengan kepala masih basah dan handuk menggantung di leher, Zayn ngecek ponsel. Nayla nggak ngehubungi dia. Gimana, dong? Zayn khawatir.

Mau telepon Bhas, tapi, masih belum punya nomor tu anak.

Mondar-mandir di kamarnya, Zayn akhirnya memutuskan untuk men-dial nomor Nayla. Kali aja diangkat. Zayn cuma pengin tahu keadaannya.

Diangkat!

"Udah baikan?" tanya Zayn langsung.

"Lumayan." Suara Nayla masih lemas. "Udah pulang?"

"Baru aja. Di rumah ada siapa?"

"Nggak ada siapa-siapa."

Ya ampun, terus, siapa yang ngerawat Nayla? "Gue beliin obat, ya?"

"Lo kerja, 'kan?"

"Nanti." Zayn menyambar jaket dari gantungan. Bersiap keluar apart. "Gue beliin obat mag, sama mau titip apa? Udah makan malam?"

"Belum, masih mual."

"Tetap harus makan. Kalau nggak dikasih makan malah tambah sakit nanti. Gue beliin bubur, ya?"

"Iya, deh. Jangan yang pedas-pedas. Lidah lagi nggak berselera banget."

"Oke, dua puluh menit lagi gue sampai sana. Jangan tidur dulu."

"Hmm."

Zayn mematikan sambungan telepon. Mengantungi ponselnya. Mengeluarkan Bentayga miliknya dari garasi dan memacu setir ke jalanan yang masih ramai. Mencari tukang bubur.

.
.
.

***
.
.
.

"Biar gue aja."

"Nggak usah, aku bisa bawa sendiri."

"Nggak papa, biar gue bawain."

Kardus duplex berisi Mih Kocok Mang Dadeng itu hampir aja jatuh kalau Mimi nggak segera menangkapnya. Jay, sih, dari tadi ngeyel mau ngebawain. Padahal, Mimi bisa bawa sendiri. Lagipula, isinya cuma dua kotak. Nggak berat sama sekali.

Mimi manyun. Sementara Jay meringis.

Tadi, Jay ngajak Mimi buat nge-mi dulu sebelum pulang. Lebih tepatnya maksa, sih. Soalnya, dibumbui dengan ancaman gitu. Mimi nurut aja ketimbang dilempar ke selokan sama Jay.

Mimi pesan dua, take away, buat bude sama pakdenya.

"Jadi ngantar pulang, nggak?"

Jay mengulum bibir melihat Mimi agak enek sama dia. Ada-ada saja, deh. Niatnya juga cuma pengin perhatian biar tumbuh benih-benih cinta di hatinya Mimi buat Jay. Malah jadi begini.

"Jadi." Jay ngambil helm. Memakainnya ke kepala Mimi yang masih merengut.

"Maaf," cicit Jay. "Gue ganti yang baru, deh, oke?"

"Nggak perlu. Nggak tumpah juga, kok." Untung dibungkus plastik dulu, baru dibungkus kardus. Kalau cuma diwadahi kotak styrofoam, pasti udah tumpah.

Jay ngalah, nggak mau debat lagi. Takut berakhir berantem malah nanti. Jay naik ke motornya, disusul Mimi. Perjalanan selama lima belas menit berasa diam di kulkas selama satu jam. Kebetulan, Jay nggak makai jaket, helm juga dipakai Mimi, suasana malam itu emang dingin banget, sedingin sikap Mimi. Jadilah, Jay menggigil. Tapi, masih berusaha biar tetap kelihatan kayak cowok tangguh.

Hi, Amberlyyn! (✓) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang