Keping 31 : Don't Wanna Say Good Bye

20 1 0
                                    

"Mbah Ti nggak ada."

Mimi mematung sejenak. Berusaha mencerna perkataan masnya. "Apa maksud Mas Dirga?" tanya Mimi, mengernyit, membalas tatapan Mas Dirga yang sedang berusaha untuk terlihat tegar.

"Mbah Ti meninggal."

Jantung Mimi berdesir, seolah berhenti berdetak, pandangannya mengabur, dan badannya lemas. "Nggak mungkin. Tadi malam Mimi tanya Abah, katanya Mbah Ti baik-baik aja. Katanya, Mbah Ti lagi tidur."

"Tadi pagi waktu dibangunin sama Epan, Mbah Ti udah nggak bernapas ..."

Mimi menggeleng. Mundur beberapa langkah sampai pegangan Mas Dirga terlepas. Pandangannya yang semula mengabur, kini perlahan menghitam. Badannya lemas tiada daya. Hal terakhir yang Mimi lihat sebelum kesadarannya benar-benar menghilang adalah siluet orang-orang yang mulai mengerubunginya.

.
.
.

***
.
.
.

"Neneknya Mimi meninggal."

Nayla menutup mulut dengan satu tangan. "Serius?"

Tadi Nayla mencari keberadaan Mimi ke kelasnya. Kata salah satu teman sekelasnya, Mimi dipanggil ke ruang guru. Zizah yang baru sampai kelas, bercerita kenapa Mimi sampai dipanggil ke ruang guru di tengah pelajaran sedang berlangsung.

"Terus, Mimi gimana?"

Zizah mengubah duduknya jadi menghadap Nayla. "Pingsan, dia dibawa pulang sama masnya."

"Innalillahi ..."

Padahal, Nayla lagi berusaha untuk mendekati cewek itu, menghiburnya biar dia lupa sama kejadian di gudang. Setidaknya, biar Mimi nggak terlalu memikirkannya. Tapi, mendengar kabar itu, dan kenyataan kalau Mimi sampai pingsan, Nayla nggak bisa bohong kalau dia juga khawatir. Pengin lihat keadaan Mimi, tapi, udah dibawa pulang.

"Kira-kira dia langsung terbang ke Jogja nggak, ya?"

"Mustinya gitu." Zizah menjawab sembari mengetuk-ngetuk meja dengan jemarinya.

Bandung sama Jogja itu nggak deket. Tapi, kalau keadaannya segenting ini, rasanya nggak mungkin Mimi nggak pulang ke Jogja.

"Semoga Mimi baik-baik saja. Semoga dia nggak terlalu kepikiran," batin Nayla. Tentu saja Nayla takut Mimi overthinking, takut Mimi sakit. Apalagi masalah Jay pasti masih membuatnya syok.

.
.
.

***
.
.
.

Sekitar pukul lima sore, Mimi baru sampai di kediaman keluarga Brawijaya. Joglo utama dipenuhi orang-orang, baik yang sekompleks, maupun saudara jauh. Mimi disambut dengan para Bude yang memeluknya dengan tangis yang kembali mengalir setelah diseka entah yang keberapa kali.

Di tengah ruangan itu, di atas lantai beralas jarit, Mbah Ti dibaringkan dalam keadaan sudah dikafani. Seluruh tubuhnya ditutup oleh kain lain. Keluarga memang sengaja nunggu Mimi sama Bude Ranty dan Pakde Ridwan untuk memakamkan Mbah Ti.

Mimi terduduk, kakinya lemas dan nggak sanggup nahan beban tubuhnya sendiri. Umi memeluknya dari samping. Begitu erat, seakan takut kalau Mimi akan kabur, atau kehilangan kesadaran dan ambruk.

Cewek berkerudung itu hanya terdiam tanpa bisa berkata-kata lagi. Pandangannya kosong. Menatap seonggok tubuh tak bernyawa itu. Air mata Mimi jatuh tanpa diundang. Bahkan, untuk terisak saja rasanya berat sekali.

Mbah Ti ...

.
.
.

***
.
.
.

"Kamu istirahat, Umi ngeladenin tamu dulu."

Mimi diantar ke kamar. Cewek itu mengangguk, menjatuhkan tubuhnya ke kasur, terduduk lesu. Sama sekali nggak berniat melakukan apa pun.

Ujung gaun hitamnya jatuh ke lantai, kerudungnya sudah tidak berbentuk. Matanya merah, ada lingkaran hitam di bawahnya.

Bayang-bayang perjumpaan terakhirnya dengan Mbah Ti, semua kenangan yang mereka habiskan bersama selama ini, menghantui Mimi seperti film rusak yang terus terputar tanpa jeda. Membuatnya tidak bisa memikirkan hal lain.

Nggak lama, seseorang masuk. Menghampiri Mimi dan ikut duduk di sebelahnya. Abah menghela napas berat. Menepuk bahu putrinya itu pelan, kemudian, mengerat. "Kamu belum makan dari siang, Nduk. Makan dulu."

Mimi nggak menjawab, bahkan, enggan hanya untuk menggelengkan kepala.

"Nduk, kesehatanmu itu penting. Jangan sampai kamu sakit. Abah ambilkan makanan, ya?"

Kali ini, Mimi menoleh, memandang wajah Abah dengan lesu. "Ini salah Mimi. Andai Mimi mau pindah ke sini lebih awal, Mbah Ti nggak akan pergi secepat ini."

"Mati itu udah diatur sama Yang Maha Kuasa. Kamu nggak salah. Itu adalah takdir. Kita sebagai manusia harus sabar dan ikhlas menerimanya."

Mimi menggeleng, menatap Abah nanar. "Mbah Ti udah minta Mimi buat tinggal di sini, berkali-kali. Tapi, Mimi selalu menolak. Mbah Ti pernah bilang kalau hidupnya nggak akan lama lagi, tapi, Mimi mengacuhkan perkataan beliau. Mimi salah, Abah. Mimi yang membuat Mbah Ti meninggal." Akhirnya setelah menahan rasa sakit, sekarang Mimi bisa melepas tangisnya.

"Astaghfirullah, jangan bilang gitu." Abah memeluk putri bungsunya itu. "Kamu nggak salah, Nduk. Kamu nggak salah."

Bahkan, seseorang yang terbiasa berbohong untuk tetap tegar di hadapan orang lain pun, pasti tidak akan sanggup menyembunyikan rasa sakitnya di hadapan orang yang dia kasihi. Di balik isakan Mimi, Umi bersandar ke dinding samping pintu kamar, menutup mulut. Ikut menangis tanpa mengeluarkan suara. Begitu juga Abah. Laki-laki pemegang tahta tertinggi di hidup Mimi yang selalu terlihat seperti orang paling tegar di dunia itu tidak kuasa menahan tangis sembari terus mencoba menenangkan putrinya.

Andai boleh, Mimi ingin berkata, harusnya dia yang mati. Bukannya Mbah Uti.

***

Hi, Amberlyyn! (✓) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang