Keping 4 : Won't Let You Go

40 6 0
                                    

Mimi terbangun dalam ruangan yang asing. Kepala Mimi sedikit pusing. Dia mengerjap, menyesuaikan pandangan dengan satu-satunya penerang yang ada. Sebuah lampu yang terpasang di tengah ruangan, yang nggak mampu menerangi sudut-sudut ruangan ini. Sekilas, ruangan ini kelihatan nggak berdinding. Tidak berbatas. Hanya gelap di mana-mana.

Saat kesadarannya kembali sepenuhnya, Mimi baru sadar kalau dia didudukkan di sebuah kursi, dan tangannya diikat. Mimi mencoba menggerakkan tangannya. Tapi, ikatan itu terlalu kencang.

Ingatan terakhir waktu dia ngelihat Mizun di koridor, terputar lagi di kepalanya. Ini bukan ulah Mizun, 'kan? Jangan-jangan, ini ulah Jay? Tapi, kenapa? Ngapain Jay nyekap Mimi kayak gini?

Jay nggak berniat buat nyakitin Mimi, 'kan? Apa Jay marah sama kejadian kemarin sampai ngelakuin hal ini? Apa yang bakal Jay lakuin? Mimi takut dipukulin satu gengnya. Gimana kalau dia dibunuh, terus dimutilasi, terus tubuhnya dibuang ke sungai? Ya Tuhan, Mimi beneran nggak siap untuk mati di tangan Jay.

Masa dia harus kehilangan nyawa cuma karena nolak cintanya Jay? Itukan haknya. Sebagai manusia_sebagai cewek_Mimi berhak nerima atau enggak. Jay nggak bisa ngelakuin hal kayak gini buat balas dendam.

"Udah sadar?"

Mimi menoleh ke kiri-kanan. Mencari sosok pemilik suara yang akrab di telinganya itu.

Jay keluar dari kegelapan. Berjalan lurus ke hadapan Mimi. Membawa_tongkat bisbol. Jay duduk di bangku depan Mimi. Megang tongkat itu di depan badannya.

"Kamu nyekap aku?"

"Anggap aja gitu." Jay mencondongkan tubuhnya. "Ini akibatnya kalau lo berani nantangin gue."

Nantangin gimana? Mimi nggak ngerti. "Siapa yang nantangin kamu?"

Jay menegakkan tubuhnya lagi. Bersandar ke sandaran bangku. "Elolah. Gue nggak suka sama tingkah lo yang sok polos. Lo pikir karena gue suka sama lo, jadi, lo bisa ngerendahin gue gitu?" Jay tertawa mendengus. "Lo nyari masalah sama gue."

Tatapan mata Jay menajam, kayak golok baru diasah. Mimi jadi gentar. Padahal, dari tadi dia berusaha buat nggak teriak, terus nangis. "Aku nggak mau nyari masalah sama siapa pun. Aku juga nggak berniat buat ngerendahin kamu. Dan soal bagaimana tingkahku, itu terserah aku." Mimi harus mengambil napas dulu. Berhadapan sama Jay di situasi dan tempat seperti ini membikin Mimi makin ngeri sama sosok Jay. "Harus--ngelakuin hal ini cuma karena kamu ngerasa tersinggung?"

Jay malah terkekeh. "Ini belum seberapa. Lo mau tahu apa yang bisa gue lakuin?"

Enggak! Sekarang, Mimi lebih suka Jay ngusilin dia ketimbang nyulik dia. Namun, Mimi nggak berani bilang apa pun. Karena Jay keburu berdiri. Ya ampun, Mimi nggak bisa berkata apa-apa lagi. Takut, itu aja.

"Lo ngerasa cantik? Ngerasa sempurna?" Jay terkekeh lagi. Emang cantik, sih. Sempurna bagi Jay. Enggak tahu orang lain mandang Mimi kayak gimana. "Lo ngerasa hebat dengan nolak gue?"

"Jay!"

"Apa?" Jay mendekat. Menundukkan badannya. Membuat wajahnya berada tepat di depan wajah Mimi. "Harusnya sejak awal lo bilang kalau lo emang nggak suka sama gue. Kenapa lo harus ngasih gue harapan kalau akhirnya lo nolak gue?" Jay bahkan nggak yakin mau ninggalin Mimi, bahkan kalau Mimi nolak dia dari dulu. "Kenapa lo harus bertingkah seolah lo suka sama gue?" Jay mengeraskan suaranya. Mimi tersentak. Dadanya ikut sakit.

Mimi nggak bisa nahan air mata yang udah menggenang di pelupuk matanya. Dia menoleh, mengalihkan pandangan dari Jay. Menggigit bibir dalamnya, berusaha biar nggak terisak.

Jay tersenyum mendengus. "Ini senjata terbaik lo?" entah kenapa, tangis seorang cewek bisa jadi senjata paling ampuh buat ngeluluhin hati cowok. Jay nggak suka lihat Mimi nangis. Tapi, harga dirinya memaksa Jay buat nggak terpengaruh. "Lo suka banget bertingkah kayak cewek lemah. Biar apa? Biar cowok-cowok pada simpati, terus, ngejar-ngejar elo gitu?"

Hi, Amberlyyn! (✓) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang