Keping 10 : Keturunan Ningrat

35 4 0
                                    

"Turun di sini aja."

Mobil Galang berhenti di pinggir jalan besar depan joglo keluarga Brawijaya. Setelah menyantap soto, tadinya Mimi berencana minta jemputan dari abah. Tapi, umi lebih dulu nyuruh Galang buat nganterin Mimi pulang. Karena, kebetulan, Galang mau lewat daerah rumahnya abah. Alhasil, Mimi nurut saja.

Galang nggak langsung ngantar Mimi pulang. Dia ngajak Mimi muter-muter daerah tugu dulu. Itu juga atas usulan umi, biar Mimi tahu daerah sini.

"Mas Galang nggak mau mampir dulu?" tanya Mimi sebelum keluar mobil.

"Mungkin lain kali." Galang tersenyum teduh. Seteduh rindangnya pohon palem di halaman rumah abah.

"Terimakasih."

Mimi berjalan memasuki pintu gerbang saat mobil Galang akhirnya melaju pergi. Pak sekuriti yang jaga gerbang menyapanya, "Diantar siapa, Mbak Mirany?"

"Kenalannya Umi. Abah udah sampai rumah?"

"Baru aja ngerapihin bawaan. Kayaknya oleh-oleh buat Mbak sama Bude Ranty jumlahnya segudang, deh, Mbak," kata pak sekuriti bersemangat.

Mimi tersenyum. "Paling isinya alat-alat buat sekolah, sama rendang pesenan Bude."

Mimi emang nggak pernah mau dibekali makanan. Takut basi. Soalnya Bude Ranty selalu nyediain makanan ringan di rumah. Dan Mimi juga nggak terlalu suka nyemil.

"Pamit sama Mbah Ti dulu." Abah sudah berdiri di pelataran rumah. Mobil juga sudah siap. Mereka emang harus ngejar penerbangan sore hari ini.

Mimi menurut, masuk ke dalam joglo utama. Berpamitan dengan anggota keluarga yang ada. Lalu, keluar lagi.

"Abah ikut ke Bandung?" tanya Mimi saat sudah duduk di jok mobil belakang bersama abah. Melihat tiket yang dipegang abah berjumlah dua, tentu Abah akan ikut ke Bandung.

"Abah nggak mungkin ngebiarin kamu bawa barang-barang sebanyak itu sendirian nanti."

"Kan, bisa pesan taksi. Abah nggak capek habis pulang kerja mau ikut ke Bandung?"

Abah mengelus kepala putrinya yang tertutup kerudung. "Ada yang mau Abah bicarain sama Bude kamu. Abah nginep di sana semalam."

Mimi mengangguk. Meraih tangan abah dan menggenggamnya.

.
.
.

***
.
.
.

Pukul enam lebih, abah dan Mimi baru sampai rumah Bude Ranty. Langsung bongkar barang yang dibawa abah. Ada beberapa kantung yang dimasukkan ke kamar Mimi, tebakannya benar, itu berisi seperangkat alat sekolah.

Mimi masuk ke kamar, membersihkan diri. Shalat dan sebagainya. Setelah menata barang yang dibawa dari Jogja, Mimi memutuskan untuk keluar menghampiri abahnya. Tapi, baru saja keluar kamar, langkah Mimi terhenti saat mendengar percakapan abah, Bude Ranty, dan Pakde Ridwan, di ruang depan.

"Mbah Ti udah sepuh. Pengin lihat Mimi di rumah. Bukan sebulan sekali. Tapi, setiap hari. Aku takut Mimi nggak sempat ngehabisin waktu sama Mbah Ti. Kita emang nggak tahu usia seseorang. Tapi, waktu kontrol kemarin, dokter bilang waktu Mbah Ti nggak akan lama lagi. Kita tahu Mbah Ti sakit, dan susah untuk disembuhin, karena faktor usia yang paling utama. Aku rencananya mau nyuruh Dirga pulang juga."

"Sekolah Mimi tinggal beberapa bulan lagi. Kamu yakin mau ngajak dia pindah? Nggak kasihan dia harus beradaptasi lagi? Ini mau masuk semester akhir, loh."

Abah diam atas perkataan bude. Kalau disuruh memilih, abah pengin nunggu Mimi lulus dulu. Tapi, waktunya emang nggak tepat.

Mbah Ti udah ngebet banget minta abah buat jemput Mimi, biar Mimi tinggal di Jogja aja. Enam tahun pisah sama cucunya, ketemu sebulan sekali kalau senggang, Mbah Ti tentu pengin lihat Mimi setiap saat sebelum ajal menjemputnya. Apalagi dengan tidak adanya Dirga. Masnya Mimi itu emang orangnya keras kepala banget. Udah diminta cari kerja yang deketan biar bisa bolak-balik, malah milih kerja di Jakarta.

Hi, Amberlyyn! (✓) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang