Keping 5 : Zayn Mesum

92 5 0
                                    

Jay menenggak seloki bir kelimanya. Kepalanya sudah pusing. Entah efek alkohol atau pikirannya yang ruwet. Ini sudah lewat dua jam semenjak Jay menginjakkan kaki di bar. Tapi, Jay nggak berminat buat beranjak sama sekali.

Ini kerlaluan. Mimi yang dilukai malah dia yang ngerasa sakit hati. Padahal, Jay nggak bermaksud buat nyakitin Mimi. Kenyataannya, Jay nggak bisa ngontrol dirinya sendiri.

Sialan!

Tahu begini, mending Jay terima kenyataan aja.

Begini banget nasib Jay. Sekali jatuh cinta, ditolak mentah-mentah. Apa ini yang dinamakan azab playboy tampan?

Waktu gelasnya diisi ulang, pundak Jay ditepuk dari belakang. Seseorang gabung, duduk di bar stool di sebelahnya. Memesan minuman.

"Tumben sendirian. Temen-temen lo pada tobat?"

Jay noleh bentar. Kemudian, mengambil gelasnya dan menenggak isinya. Meletakkan gelasnya ke meja sambil menghela napas keras.

"Masih gamon sama kejadian itu?" Zayn menatap Jay agak kasihan. Tampilannya sekarang kayak berandal melarat yang berhari-hari kagak makan. Tapi, Jay nggak mungkin nggak makan berhari-hari. "Kalau emang suka, kejar aja terus, nanti juga luluh." Zayn ikut menenggak minumannya.

"Sotoy lu."

"Nyatanya, Nayla luluh juga sama gue." Zayn kembali menatap Jay. "Tunjukin kalau lo emang sayang sama dia. Jangan kayak gini. Lo kayak berandal yang suka ngehamilin anak orang. Boro-boro Mimi luluh, yang ada malah takut."

Enak aja Jay disamain sama orang mesum. Boro-boro ngehamilin. Wong nyentuh dagunya Mimi aja Jay udah deg-degan nggak keruan. Padahal, kalau sama cewek lain, pikiran Jay pasti menjurus ke kasur. Tapi, beda sama Mimi. Mungkin karena efek dari keunyuan dan kegemasan Mimi yang lebih cocok dicubit-cubit sama dipeluk-peluk, ketimbang dikelonin.

"Lo ngapain di sini?"

"Part time."

"Di sini?" Jay mengernyit. Memikirkan pekerjaan seperti apa yang Zayn lakukan di bar. Kagak mungkin 'kan Zayn jadi tukang pel.

"Ho'oh," jawab Zayn enteng. Dia menenggak isi gelasnya. Kemudian berdiri dan nepuk bahu Jay. "Thanks, traktirannya." Zayn pergi. Tapi, nggak lama kemudian, dia muncul di balik counter. Jaketnya udah lepas. Menyisakan kaus oblong sama celana panjang. Sejurus kemudian, Zayn mulai menerima pesanan dari orang-orang. Meracik minuman dengan luwes. Seolah Zayn udah biasa melakukannya.

"Lo kerja jadi bartender?" Jay bertanya saat Zayn berdiri di depannya.

Zayn ngangguk. "Bayarannya lumayan, daripada kerja di kafe atau tempat lain."

"Bokap lo udah bosen ngirim duit?"

Zayn tertawa mendengus. Dia emang nggak pernah ngecek isi rekeningnya. Tapi, Zayn yakin mama sama papanya nggak berhenti kirimin uang tiap bulan. "Gue bukan kaum hedonis kayak lo yang suka ngehabisin duit Bokap buat party."

Jay terkekeh. "Lupa sama kejadian lo mabuk terus gue yang harus ngangkat-ngangkat lo sendirian sampai apart?"

"Gue makai duit gue sendiri. Dan itu bukan hedon, kali."

"Galau?"

Galau? Enggak, sih. Zayn cuma capek aja. "Ya, gitu, deh."

Jay terkekeh lagi. "Malam ini gue punya rencana ngehamburin duit Bokap sebanyak mungkin. Biar gue diusir dari rumah sekalian. Mau berpartisipasi? Kebetulan gue lagi nggak punya temen."

Ini anak emang anjing! Nggak kasihan sama orang tua yang udah susah payah kerja. Anaknya malah party-party aja. "No, thanks. Gue nggak mau mabuk malam ini." Besok Zayn mau ke rumah Nayla. Nggak lucu kalau dia bangun terlambat, atau datang ke rumah Nayla dengan muka kusut habis minum semalaman. Nanti dicap sebagai anak muda yang nggak baik lagi.

Hi, Amberlyyn! (✓) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang