Keping 26 : Ada Sesuatu Antara Abah dan Mas Galang

22 2 0
                                    


Mimi pikir, perkataan umi soal Galang mau ketemu abah itu cuma bercanda. Ternyata enggak. Galang beneran ikut masuk ke rumah. Duduk di kursi tamu dengan abah di depannya. Sementara Mimi milih menyingkir. Memberikan mereka privasi.

Sebenarnya, Mimi penasaran ada apa gerangan Mas Galang mau ketemu abahnya malam-malam begini? Tapi, Mimi ngerasa nggak punya hak untuk nanya. Lagian, mau nanya ke siapa?

Galang? Pasti cuma mesam-mesem doang nanti.

Abah? Nanti dikatain kepo.

Mimi membuang pertanyaan dalam pikirannya dan memilih untuk duduk di dekat kolam ikan luar rumah yang udah nggak keurus. Ikannya udah habis, mati semua. Airnya juga keruh. Tapi, tempat ini lumayan nyaman untuk dijadikan tempat bersantai. Dengan penerangan lampu dari dua gazebo di sebelahnya, juga semilir angin yang nggak terlalu kuat, tempat ini mampu membuat siapa pun betah berlama-lama.

Dulu, tempat ini selalu rame kalau weekend. Para sepupu akan berkumpul dan main di sini. Sekarang, setelah dewasa, orang-orang mulai sibuk dengan urusannya masing-masing. Mimi rindu suasana rumah yang dulu. Tawa anak-anak, tapak-tapak kaki kenes, dan kehangatan yang terjalin di dalamnya.

Sekarang, berkumpul bersama saja rasanya tidak pernah. Paling kalau ada acara-acara besar.

Sayangnya, akhir-akhir ini jarang banget ada acara yang bisa mengumpulkan seluruh anggota keluarga. Terakhir, semua orang kumpul waktu lebaran. Udah berbulan-bulan lalu.

Mimi nggak bisa ngebayangin gimana kalau Mas Dirga nikah. Pasti bakal rumah ini bakal rame banget.

Nggak lama, sesorang ikut duduk di sebelah Mimi. Dia mengeluarkan sebungkus rokok dari saku kemeja, kemudian mengambil satu batang, dan menyalakannya.

"Sejak kapan Mas merokok?"

Dirga mengembuskan asap dari mulutnya. "Udah lama," balasnya. Kaus oblong yang terlihat tipis itu membuat Mas Dirga sesekali merinding. "Kamu seharian ini di toko?"

"Iya." Mimi menggeser duduknya. Jujur saja, Mimi nggak terlalu suka dengan bau rokok.

"Rame?"

"Lumayan."

Rame banget sampai Mimi capek ngelayanin pelanggan. Apalagi malam-malam begini. Tapi, umi malah menyuruhnya pulang. Padahalkan, Mimi bisa bantu-bantu puput nanti.

Angin bertiup lagi. Suara jangkrik mengisi kekosongan malam. Jalan depan mulai sepi dari bising kendaraan. Orang rumah berangsur terlelap. Mimi mendongak. Dari sini, dia bisa melihat bintang membedi langit malam. Entah kenapa, hatinya malah merasa kelam.

Di Jogja ada banyak orang yang Mimi kenal. Hampir semua keluarganya ada di sini. Tapi, jauh-jauh dari Bandung rasanya agak memberatkan hati. Bandung itu tempat Mimi kecil bertransformasi menjadi Mimi remaja. Rasanya, Mimi bisa mengingat semua hal yang dia lakukan di Bandung, tapi, lupa akan apa saja yang terjadi di Jogja dulu.

Bukan.

Mimi ingin melupakannya. Tapi, sulit sekali.

Semua rasa sakit itu masih membekas.

Setelah Alany meninggal, Mimi jadi sering sakit-sakitan. Bahkan, Mimi didiagnosis tidak akan bertahan hidup lebih lama lagi. Mimi masih ingat betapa putus asanya dia dulu. Bayang-bayang Alany selalu menghantuinya seolah mengajaknya untuk ikut berjalan di setapak yang sama.

Pindah ke Bandung adalah salah satu cara agar Mimi berhenti memikirkan masa lalunya dengan Alany.

Meski Mimi sembuh, mimpi buruk tentang Alany tidak pernah hilang.

Bahkan, sampai saat ini, Mimi masih bisa melihat sosok Alany di dalam dirinya. Memiliki wajah yang sama membuatnya hampir kehilangan akal, bahkan hanya dengan bercermin saja.

"Dik?"

Mimi menoleh. "Iya?"

Dirga menekan ujung rokoknya ke tanah. "Kamu suka tinggal di Bandung?"

"Suka."

Dirga menganggut. "Rencana pengin kuliah di mana?"

"Aku ikut apa kata Abah."

"Kalau kamu sendiri penginnya di mana?"

Jujur, Mimi nggak masalah kuliah di mana saja. Mimi juga nggak punya keinginan khusus mau kuliah di mana. "Nggak tahu."

"Nggak pengin tinggal di sini lagi?"

Mimi menatap masnya itu tanpa mengatakan apa pun.

"Kalau kamu mau pindah ke sini, Mas juga balik. Biar kita bisa kumpul kayak dulu lagi."

"Terus, kerjaan Mas Dirga gimana?"

Yang ditanya menyalakan rokoknya lagi. "Ya, nggak gimana-gimana. Kan kerja bisa di mana aja."

Iya, sih, Mimi juga tahu. Tapi, apa nggak repot pindah-pindah? Apalagi harus nyesuain segalanya dari awal lagi. Padahal, katanya mau naik jabatan. Apa nggak eman?

"Ngomong sama Abah sama Bude dulu nanti mau gimana."

Dirga menghela napas. Yang ditanya apa, yang dijawab apa. Ini akibatnya kalau anak terlalu berbakti. Ngikut kata orang tua terus. Nggak peduli sama apa mau diri sendiri. Bukan Dirga banget, deh.

.
.
.

***
.
.
.

"Mau langsung pulang?"

Mimi menemani Galang keluar rumah. Tadi ketemu waktu masuk rumah sama Mas Dirga. Tahu Galang lagi mau pulang, Mimi antar sekalian.

Galang sama abah ngobrolnya cukup lama. Mimi jadi makin penasaran apa yang mereka bicarakan. Yang pasti bukan tentang dirinya, 'kan? Iya, 'kan?

Semoga abah bukan satu spesies dengan umi. Semoga pendirian abah nggak goyah.

Mimi beneran nggak mau nikah muda.

"Hmm, udah malem banget. Nggak enak juga bertamu kelamaan." Galang memamerkan senyum manisnya.

"Nggak masalah, kok. Umi juga belum pulang."

Padahal, sudah pukul sembilan lebih, tapi, umi belum juga menampakkan batang hidungnya. Toko masih rame kali, ya?

"Besok ke sini lagi. Masih perlu bicara banyak sama Abah."

"Ngomong-ngomong, ada urusan apa sama Abah?" Mumpung lagi berdua, Mimi akhirnya mengutarakan rasa penasarannya.

Galang tersenyum sambil menatap Mimi. Sebuah kode kalau dia nggak mau bercakap lebih panjang lagi.

Mimi mengulum bibir. Emang susah bicara sama orang sejenis Galang. Suka misterius. Susah diselidiki.

***

Hi, Amberlyyn! (✓) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang