"Karena nila setitik, rusak susu sebelanga."
-Pepatah Lama-
❤️❤️❤️
Suasana kelas XII IPA 1 terasa sangat mencekam pagi itu. Bunyi ketukan sepatu pantofel berhak tinggi milik Bu Nurma menggema. Membuat semakin tegang suasana. Tidak ada yang berani bersuara. Sementara telinga mereka paksa untuk tidak mendengar ocehan guru mata pelajaran PKN itu.
"Memangnya kalian bisa belajar dengan kondisi kelas kotor begini?" Bu Nurma melayangkan tatapan ke seluruh isi kelas yang hanya bisa tertunduk.
"Meja penuh debu," ujarnya seraya mencolek sebuah meja di dekatnya dengan jemari tangan.
"Jendela buram tanpa gorden." Ia menunjuk ke arah jendela bening seperti aquarium, memperlihatkan pemandangan lapangan sekolah mereka yang panas terik menyilaukan mata disinari oleh matahari pagi.
"Kertas berserakan di lantai," lanjutnya seraya menendang-nendang kecil gumpalan kertas yang ada di dekat kakinya.
"Dari tiga puluh orang siswa di kelas ini gimana bisa gak ada satu pun orang yang punya inisiatif bersihin kelas? Pungut sampahnya, kek. Bersihin mejanya, kek. Pinjem sapu sama kelas sebelah atau ke kantor guru, kek. Memangnya kalian belum dibentuk petugas piket? Mana perangkat kelasnya? Ketua kelasnya, mana?"
Perlahan Diaz mengangkat tangannya. Wajahnya tertekuk kesal karena harus disalahkan atas kesalahan yang tidak ia perbuat. Jika saja Dya tidak mengalihkan tugasnya kepada orang lain, jika saja ia mau bertanggung jawab dengan tugasnya, semua kesialan ini tidak akan terjadi.
"Diaz?" gumam Bu Nurma keheranan. Pasalnya Diaz terkenal sebagai siswa yang tidak pernah melanggar peraturan sekolah.
"Saya, Bu, ketua kelasnya."
"Terus, bisa kamu jelasin kenapa kelas kamu ini kotornya kayak kandang manusia?" Bu Nurma berjalan mendekati bangku Diaz.
"Kemarin sudah dibagi tugas, Bu. Tapi, sepertinya ada yang tidak bertanggung jawab dengan tugasnya," jawab Diaz tanpa ragu sedikit pun.
Tentu saja mata Dya langsung membeliak kesal. Pemuda itu pasti ingin menyalahkannya karena kekacauan yang terjadi di kelas. Kekacauan karena Dya belum membagi petugas piket kelasnya dan belum membeli alat-alat kebersihan.
Dya pikir kemarin tugasnya sudah digantikan oleh Aksa dan Ega. Namun, tadi pagi Aksa sudah menjelaskan jika ia tiba-tiba ada rapat ekskul mendadak. Sebagai ketua ekskul sepak bola, tidak mungkin Aksa mangkir dari tugas. Ega juga tidak mungkin belanja alat-alat kebersihan seorang diri. Aksa lupa mengabari Dya soal itu. Lupa juga konfirmasi dengan Diaz.
"Memangnya siapa yang sudah kamu bagi tugas itu?" tanya Bu Nurma penuh selidik.
"Wakil saya, Bu."
Benar kan dugaan Dya. Diaz pasti akan melakukan ini.
"Siapa wakil ketua kelasnya?" tanya Bu Nurma dengan suara nyaring seolah begitu senang telah menemukan pelaku kekacauan yang sebenarnya.
"Saya, Bu," jawab Dya dengan hati yang begitu dongkol.
"Bener, Diaz sudah bagi tugas dengan kamu?" tanya Bu Nurma tajam.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Dopamin Love
Teen FictionAnindya Milena dan Ardiaz Miryando selalu bersaing untuk menyandang predikat siswa terbaik di sekolahnya. Persaingan seolah manjadi dopamin yang membuat mereka ketagihan karena bagi keduanya, juara itu hanya ada satu. Segala macam cara mereka lakuk...