"Ayah yang tak banyak bicara terkesan tidak peduli, tetapi sesungguhnya yang selalu ada di hatinya hanyalah kita."
Anonim
❤️❤️❤️
Setelah perdebatan kecil yang membuat Diaz bingung berada di tengah-tengah Dya dan papanya, obrolan pun berhenti. Sang papa terlihat mengalah dengan tidak bersuara lagi. Sementara Dya lebih memilih memusatkan kembali atensinya ke pemandangan di luar jendela mobil.
Keheningan itu bertahan hingga mereka tiba di penginapan saat hari sudah gelap. Ketika Diaz sedang berpamitan dengan papanya Dya, gadis itu malah langsung pergi tanpa kata.
Diaz ingin mengejar Dya, sebenarnya. Namun, sebuah panggilan dari papanya Dya menginterupsi langkahnya.
"Yaz, bisa ngobrol sebentar, enggak? Soal Dya."
Melihat raut wajah pria paruh baya yang hampir seusia papanya itu membuat Diaz tak sanggup menolak.
"Saya telepon wali kelas dulu, ya, Om. Khawatir mereka nyari saya karena waktu bebas kami cuma sampai Maghrib. Setelah itu akan ada evaluasi kegiatan usai makan malam." Diaz berkata canggung.
"Sekalian nanti Om yang ngomong ke guru kamu untuk minta izin pinjam kamu sebentar."
Setelah mengobrol beberapa saat, Bu Trias pun mengizinkan Diaz untuk ikut pergi bersama papanya Dya. Pria paruh baya itu membawanya ke sebuah rumah makan yang berada tidak jauh dari penginapan mereka.
"Kita ngobrol di sini aja sekalian makan malam. Jadi, nanti kamu enggak perlu makan malam lagi di penginapan."
"Sebenernya enggak perlu repot-repot begini, Om."
"Nyantai aja, ya, Yaz. Anggep lagi sama papa kamu sendiri. Kamu persen apa pun yang kamu suka."
Obrolan pun mengalir begitu saja usai mereka memesan makanan hingga pesanan mereka tersedia di meja.
"Dya kalau di sekolah, gimana Yaz?"
"Jadi primadona, Om," jawab Diaz jujur. Paling tidak, itulah kesan tentang Dya yang ada di kepala Diaz.
"Jadi primadona karena apa?"
Sebenarnya pertanyaan itu agak mengherankan bagi Diaz. Jika Dya sebegitunya ingin jadi peringkat pertama untuk menarik perhatian sang papa, setidaknya hubungan mereka cukup baik. Hasil dari hubungan yang cukup baik itu tentunya saling tahu detil masing-masing.
Namun, mengingat jarak mereka yang terpisah jauh, bisa saja memang keduanya jarang saling tukar kabar.
"Karena pinter udah pasti, Om. Kedua, karena Dya memang ramah sama semua orang. Jadi, pada seneng deket-deket sama dia."
"Termasuk kamu?" goda papanya Dya.
Diaz mengulum bibirnya canggung. Tiba-tiba jadi ingin minum segelas es teh yang terhidang di meja. Sementara papanya Dya mulai terkekeh melihat gelagat salah tingkah Diaz. Mengingatkannya akan masa mudanya sendiri.
"Makasih, Yaz, udah nemenin Dya tadi."
"Saya cuma mau balas budi sama Dya karena waktu saya lagi butuh temen, dia enggak ninggalin saya. Padahal waktu itu saya masih jahat sama dia."
"Kamu jahatin Dya?" tanya papanya Dya dengan kening yang berkerut.
"Kami kan rival, Om. Tapi, memang dasarnya Dya itu baik. Dia bisa menempatkan diri kapan jadi rival saya, kapan juga saatnya jadi teman saya."
Papanya Dya mengangguk-angguk tanda mengerti. Ada rasa bangga yang tersemat di hatinya begitu mendengar soal putri satu-satunya yang ia miliki.
Keheningan menyelimuti mereka. Sesekali hanya terdengar suara sendok beradu dengan piring. Juga suara tawa yang terdengar dari pengunjung lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Dopamin Love
Teen FictionAnindya Milena dan Ardiaz Miryando selalu bersaing untuk menyandang predikat siswa terbaik di sekolahnya. Persaingan seolah manjadi dopamin yang membuat mereka ketagihan karena bagi keduanya, juara itu hanya ada satu. Segala macam cara mereka lakuk...