#2: Awal Konfrontasi

153 30 0
                                    

"Juara itu hanya ada satu."

❤️❤️❤️

Jam istirahat pertama, Dya memutuskan untuk menghabiskan waktunya di perpustakaan. Tempat yang lengang itu selalu membuatnya nyaman. Jemari Dya menyusuri deretan ensiklopedia yang tersusun rapi dalam lemari kaca di sudut perpustakaan. Tempat itu jarang didatangi oleh para siswa yang sebagian besar lebih tertarik dengan buku-buku fiksi.

Matanya terus mengawasi deretan huruf yang tertulis di salah satu sisi buku bersampul tebal itu, mencari ensiklopedia kota yang belum selesai ia baca sebelum liburan kenaikan kelas tempo hari.

Gerakan jemarinya terhenti saat menyadari ensiklopedia kota yang dicarinya tidak ada. Ia lalu celingukan ke meja yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri. Ada seorang murid laki-laki dengan kacamata berbingkai hitamnya sedang tertunduk membaca sebuah ensiklopedia.

Dya terdiam menatap pemuda itu. Bukan karena ensiklopedia yang ia cari sedang dibaca olehnya, tetapi ia mengenali pemuda itu. Pemuda yang tadi membuang wajahnya ketika ia melemparkan senyum.

Perlahan Dya berjalan mendekati pemuda itu. Presensi Dya di dekatnya membuat pemuda itu mendongak.

"Eh, kamu yang duduk di bangku depan, kan?" sapa Dya dengan senyum ramah.

Pemuda itu membenarkan letak kacamata berbingkai hitamnya yang agak melorot kemudian mengerjap.

"Panggil aja Diaz," ujarnya mengenalkan diri kemudian atensinya kembali lagi ke ensiklopedia yang ada di hadapannya.

"Kamu suka baca ensiklopedia juga, ya?" tanya Dya antusias karena menemukan orang yang memiliki kesamaan selera dengannya. Dengan santai ia menarik kursi dan duduk di sebelah pemuda itu.

Pemuda itu kembali menoleh ke arah Dya kemudian menatapnya dalam diam. Seolah sedang mengamati gadis itu dengan saksama. Setelah berdeham, pemuda itu berkata, "Kamu belum minta izin untuk duduk di kursi itu."

"Loh, kenapa harus minta izin? Ini tempat umum. Perpustakaan sekolah. Siapa pun berhak duduk di kursi mana pun yang mereka mau."

"Dan siapa pun berhak untuk baca buku dengan tenang. Termasuk menjaga kursi di sebelahnya untuk tetap kosong supaya gak ada yang ganggu."

Dya terkesiap. Tidak mengira jika respons yang akan ia dapatkan seperti itu. Padahal ia sedang berusaha untuk ramah. "Oh, jadi maksud kamu, aku ganggu, gitu?"

"Ya, pikir aja sendiri."

Dya tertawa tanpa suara. Dalam otaknya tidak habis pikir dengan sikap Diaz. Ketika banyak orang lain yang ingin dekat dengannya, pemuda itu justru terkesan menolak untuk didekati. Sombong sekali.

"Oke, sorry kalau aku ganggu. Selamat baca dan menikmati kesendirian."

"Ternyata bener apa yang diceritain sama orang-orang tentang kamu," ujar Diaz saat Dya hendak berdiri dari kursi. Jelas saja gadis itu langsung mengurungkan niatnya untuk pergi.

Dahi Dya mengernyit keheranan, "Maksud kamu?"

Pemuda itu tersenyum simpul mendengar pertanyaan Dya. Entah kenapa ekspresi wajah itu sangat mengganggu. Namun, bukan Anindya Milena namanya kalau tidak berhasil membuat cair suasana. Maka ia pun pasang wajah tersenyum sembari mengingat-ingat lagi gosip tentangnya yang selama ini pernah beredar dan hinggap di telinga.

"Oh, cerita tentang aku yang terlalu ramah sama semua cowok sampe banyak yang menyalahartikan sikap aku? Atau cerita tentang aku yang suka manfaatin keadaan? Atau aku yang suka deketin guru-guru biar dapet nilai bagus? Atau yang mana? Kamu dapet cerita yang lainnya tentang aku? Bisa kupastiin, cerita basi itu semua." Dya terkekeh geli setelahnya.

Pemuda di depannya tersenyum sekilas mendengar kalimat Dya yang terakhir. Dya langsung berdeham setelah melihat betapa manisnya senyum di balik kacamata berbingkai hitam itu. Ia baru tahu ada orang lain yang senyumnya manis seperti Aksa.

"Kamu kayaknya menikmati banget gosip-gosip yang beredar tentang kamu itu," ujar Diaz menanggapi.

"Ya, mau gimana lagi? Sebagai individu kita gak bisa mencegah gejolak sosial yang ada, kan?" Dya mengedikkan bahu tak acuh.

Diaz mengubah posisi duduknya jadi menghadap Dya. Ditatapnya gadis itu dengan saksama. "Kamu bukannya gak mau mencegah gejolak sosial yang ada, tapi justru kamu yang nyiptain adanya gejolak sosial itu, kan?"

Dya mengerjap. Raut wajahnya berubah. Senyum yang tadinya menghiasi wajah ovalnya berubah menjadi datar. Dya merasakan perasaan terusik itu lagi.

"Kamu ngomong apa, sih?" Dya berusaha untuk tertawa kecil. Namun, kalimat selanjutnya dari Diaz terasa sangat menghujam ulu hatinya.

"Aku gak tau kenapa kamu sebegitu inginnya jadi si penyebab gejolak sosial. Mungkin kamu dapet kepuasan sendiri setelah ngelakuin hal itu. Tapi, aku gak peduli soal itu. Karena buatku sendiri, jadi penyebab gejolak sosial itu terasa memuakkan."

Pemuda itu menutup ensiklopedia yang tadi dibacanya kemudian menyerahkannya kepada Dya. "Kamu mau baca? Aku udah selesai."

Dya menerimanya sambil berusaha untuk tersenyum. Bersikap seolah tidak terpengaruh oleh ucapan Diaz barusan. Namun, nyatanya ucapan itu terasa seperti meremas-remas hatinya sekarang.

"Kenapa kayaknya kamu benci banget sama aku?" tanya Dya begitu Diaz sudah berbalik dan hendak beranjak. Diaz menoleh lalu mengerjap. Menatap Dya sesaat.

"Apa karena selama ini kita selalu bersaing dalam perebutan juara peringkat pararel angkatan kita?" tanya Dya lagi dengan senyum simpul yang menghiasi wajah imutnya.

"Itu kamu tau. Jadi, jangan coba sok baik dan deketin aku kayak kamu deketin cowok-cowok lain. Karena kita udah sama-sama tau kalau kita itu rival. Lagian, apa maksud kamu deketin aku? Buat narik simpati? Biar aku suka sama kamu terus aku ngalah, gitu? Sorry, aku gak kayak cowok-cowok lain yang selemah itu sama pesona kamu." Diaz berkata tegas. Memunculkan gejolak panas dalam hati Dya. Harga dirinya seolah terinjak-injak.

Ingin menarik simpati apa? Agar Diaz menyukainya? Yang benar saja. Jika Dya ingin, ia tak perlu bersusah payah menarik perhatian cowok lain. Cukup menerima perasaan Aksa. Namun, tidak ia lakukan karena Dya memang belum ingin bermain-main dengan cinta pada masa sekolah. Ia masih ingin memenuhi ambisinya untuk jadi yang pertama di angkatannya. Seenaknya saja Diaz menuduhnya begitu. Dya tidak terima. Jelas ia merasa terhina.

Dya berdiri. Berhadap-hadapan dengan Diaz secara langsung. Meskipun tingginya hanya sebatas dagu sang lawan bicara, tetapi ia tidak merasa takut. Ia angkat dagunya tinggi-tinggi dengan segala rasa percaya diri dan kebanggaan yang dimilikinya.

"Kalau maksud kamu ngomong kayak tadi supaya aku takut dan mundur, sorry. Aku gak sehina itu narik perhatian orang biar dia ngalah sama aku. Kenapa kita gak bersaing secara sehat? Buatku, juara itu cuma ada satu dan sorry, aku gak mau ngalah."

Dya menggebrak meja untuk menunjukkan seberapa serius ia menanggapi ucapan Diaz. Setelahnya gadis itu pergi meninggalkan perpustakaan dengan membawa tekad di dalam hati bahwa semester ini nilainya harus lebih tinggi dari Diaz. Sama seperti dua semester sebelumnya yang sudah pernah terjadi.

❤️❤️❤️

Jangan lupa klik tanda bintang di sudut kiri bawah sebelum pindah ke halaman berikutnya, ya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jangan lupa klik tanda bintang di sudut kiri bawah sebelum pindah ke halaman berikutnya, ya. Kalau kamu suka cerita ini, silakan share sebanyak-banyaknya agar lebih banyak orang yang bisa membaca.

Thanks.

[END] Dopamin LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang