Belum sempat Dya menjawab pertanyaan pemuda itu soal perasaannya, Diaz sudah lebih dulu meninggalkannya untuk menerima telepon."Dy, bentar, ya. Kak Rion. Kalau enggak diangkat, dia bisa neror aku terus." Diaz berpamitan.
Cukup lama Diaz berbicara di telepon dengan Rion.
Omong-omong soal Rion, pria muda itu sudah tidak pernah menghubungi Dya lagi sejak Dya mengadukannya kepada Diaz. Mungkin Diaz memarahinya atau bagaimana. Yang jelas Dya bisa lega karena pada akhirnya bisa terbebas dari tingkah aneh Rion.
Lamunan Dya soal Rion harus buyar karena ponselnya pun berbunyi. Aksa yang menelepon. Pemuda itu pasti khawatir karena mereka tidak kunjung kembali padahal jam istirahat hampir selesai.
"Dy, di mana?" tanya Aksa begitu sambungan telepon mereka terhubung.
"Lagi ada urusan sebentar. Kenapa memangnya?" jawab Dya seadanya.
"Khawatir aja, jam makan siang udah mau selesai, aku malah gak nemuin kamu di mana-mana. Abis ini kita mau ada kumpul-kumpul sebagai acara penutupan sebelum kita bertolak ke Jakarta. Mau ada pengumuman juga siapa pemegang nilai terbaik pas UAS kemaren."
"Ah, oke. Sebentar lagi aku balik ke sana."
Begitulah pembicaraan mereka berakhir. Lalu tak lama, Diaz pun selesai berbicara dengan Rion di telepon. Awalnya terlihat baik-baik saja. Namun, lama kelamaan Dya merasa ada yang berubah dengan Diaz. Pemuda itu lebih banyak terdiam daripada berbicara.
Sejak obrolan mereka siang itu, keduanya tidak lagi bertegur sapa. Dya tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi kepada Diaz. Ketika nama pemegang nilai tertinggi diumumkan oleh pihak sekolah pun, rasanya Dya masih belum bisa merasakan hal yang istimewa.
"Untuk UAS kali ini, kita punya dua nama yang kalian sudah tidak asing lagi."
Karena sudah bisa ditebak nama siapa yang akan disebut, sudah bukan kejutan lagi untuk Dya. Begitu juga dengan Diaz. Rasanya tidak ada yang istimewa lagi untuk gelar yang begitu banyak dicari dan diinginkan oleh orang lain.
Setelah pengumuman pemegang nilai tertinggi, ada beberapa pengarahan yang diberikan oleh para dewan guru sebelum mereka berbenah barang dan pergi meninggalkan Jogja.
Ketika di bus, Dya duduk bersama Aksa. Pemuda itu terus saja menempel seolah takut Dya hilang jika tidak bersamanya. Sementara Diaz duduk bersama Jonas di belakang kursi Dya dan Aksa.
"Dy, mau dengerin musik, enggak?" tanya Aksa seraya menawarkan sebelah earphone-nya kepada Dya. Tanpa pikir dua kali, Dya langsung menerima earphone milik Aksa dan memasangnya di telinga.
Segera saja terdengar alunan lagi yang sangat tidak asing terdengar di ruang dengan Dya.
"Lagu Chiisana Koi No Uta," gumam Dya seraya tersenyum.
"Lagunya Diaz ini." Aksa menimpali.
"Diaz?" tanya Dya keheranan. Bukankah waktu itu Diaz pernah bilang kalau lagu itu adalah lagunya Aksa yang ia dedikasikan untuk Dya? Apakah ada informasi yang Dya lewatkan soal itu?
"Iya. Lagu kesukaannya dia. Aku dapet lagu ini dari dia." Aksa berkata lagi.
"Bukannya kamu yang waktu itu nyuri dari komputer di sekretariat OSIS?"
"Nyuri?" tanya Aksa keheranan. Memang sih, waktu itu ia mengambil file lagunya dari sana. Namun, itu juga karena Diaz yang merekomendasikan.
"Diaz yang bilang."
Aksa langsung berbalik. Ia menyembulkan kepalanya di kursi penumpang dan menatap Diaz yang asyik berbincang dengan Jonas.
"Yaz, kok Lo bilang gue nyuri lagu ini dari komputer sekretariat OSIS, sih?" tanya Aksa tanpa basa-basi.
"Lagu apa?" tanya Diaz bingung.
"Monpachi," jawab Aksa. Saat itu Dya ikut-ikutan menyembulkan kepalanya dan menatap Diaz.
"Oh, lagu itu. Itu lagi lo buat Dya kan?" tanya Diaz kikuk.
"Iya, gue bilang mau kasih lagu ini ke Dya karena Dya pasti suka sama liriknya. Tapi, lagu ini kan lo yang merekomendasikan." Aksa berkata keheranan.
Jelas Dya juga keheranan karena apa yang dikatakan Diaz tempo hari tidak sesuai dengan apa yang Aksa rasakan. Rupanya lagu itu Diaz duluan yang menemukan? Aksa hanya mendapat rekomendasi dari Diaz?
Kini Dya mengerti duduk persoalannya.
"Kenapa kamu bilang itu lagu Aksa yang nemuin duluan dan lagunya dari Aksa untuk aku?" cecar Dya.
"Ya karena memang begitu. Aksa mau kasih lagu itu ke kamu." Diaz menjawab.
"Tapi, aku dengerin lagu itu duluan sama kamu, Yaz." Dya berkata lirih.
"Lalu bedanya apa?" tanya Diaz seraya menatap Dya. Ia jadi teringat kalau pertanyaannya soal perasaan Dya belum terjawab.
"Ya, tentu aja beda!" sungut Dya lalu kembali duduk di kursi bus dengan posisi normal.
Menyesal ia sempat percaya bahwa itu lagu yang akan Aksa berikan kepadanya. Bukannya lagi dari Diaz. Padahal Dya memang berharap yang terakhir. Kenapa perasaannya jadi kacau tidak menentu begitu. Padahal kalau mereka bisa lebih jujur dengan perasaan masing-masing, mungkin jadinya tidak seperti ini.
Ah, tidak. Mungkin memang Dya saja yang belum bisa jujur dengan perasaannya karena prinsip awalnya yang memang tidak ingin menjalin hubungan dengan siapa pun. Khawatir kalau itu akan mengganggu prestasi akademiknya.
Namun, sekarang Dya merasa sudah tidak punya motivasi lagi untuk fokus dengan dunia akademik. Nilainya bagus atau tidak, toh sang papa tidak akan kembali sama di mata Dya seperti dulu. Ia begitu kecewa. Sangat kecewa hingga rasanya tidak ingin lagi memperhatikan nilai akademiknya.
Haruskah ia menerima perasaan Diaz? Namun, ia takut jika menerima perasaan pemuda itu, justru malah terkesan sebagai pelarian dari rasa kecewa terhadap sang papa. Dya tidak ingin Diaz hanya menjadi pelarian.
"Diaz beneran suka sama kamu, ya?" tanya Aksa membuyarkan lamunan Dya yang semerawut.
"Mungkin," jawab Dya seadanya.
"Udah jelas loh, Dy."
"Terus aku harus gimana, Sa? Kamu tau kan kalau aku enggak mau pacaran dulu. Itu bisa ganggu konsentrasiku belajar." Dya bersikeras.
"Kamu lupa, tempo hari kamu bilang kecewa banget sama papa kamu sampai bilang enggak mau lagi jadi juara umum. Percuma semua yang kamu lakuin itu."
"Memang itu yang aku rasain."
"Jujur sama hati kamu sendiri, Dy."
"Kamu enggak apa-apa kalau aku sama Diaz?" tanya Dya keheranan.
"Loh, kenapa malah nanya aku kayak gitu? Kalau boleh jujur, sih, aku sakit hati. Kamu bisa nerima Diaz, tapi enggak bisa nerima aku. Tapi lagi, aku bukan orang yang egois, kok. Kamu berhak atas perasaan kamu sendiri. Asalkan kamu bahagia, lakuin aja."
"Aksa. Kamu emang sahabat aku yang paling baik." Dya berkata dengan mata yang berkaca.
"Udah tau. Aku emang baik. Jadi, kamu mau nerima Diaz?"
"Iya."
"Oke."
Aksa berbalik lagi menghadap ke arah kursi Diaz.
"Yaz, kata Dya, dia suka juga sama elo."
Mata Dya langsung terbeliak kaget. Tidak menyangka jika Aksa akan berbuat nekat begitu.
"Aksa!"
"Beres, kan, satu masalah."
❤️❤️❤️
![](https://img.wattpad.com/cover/200262827-288-k779589.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Dopamin Love
Teen FictionAnindya Milena dan Ardiaz Miryando selalu bersaing untuk menyandang predikat siswa terbaik di sekolahnya. Persaingan seolah manjadi dopamin yang membuat mereka ketagihan karena bagi keduanya, juara itu hanya ada satu. Segala macam cara mereka lakuk...