#23: Headline Majalah Sekolah

38 18 0
                                    

"Lebih mudah menghentikan sungai daripada menghentikan penyebaran berita besar."


❤️❤️❤️


Rupanya semua persiapan sudah matang. Sudah direncanakan dengan baik dari jauh-jauh hari. Begitu berita utama didapatkan, langsung melesat lebih cepat dari kapal jet. Luar biasa sekali kru majalah sekolah.

Hanya butuh beberapa hari saja sejak Diaz diwawancara, majalah sekolah edisi perdana di tahun ajaran baru ini terbit. Dya yang sudah tahu akan kapan tepatnya jam majalah itu beredar, sama sekali tidak mengira jika berita soal Diaz justru menjadi headline utama pada sampul majalahnya. Jelas saja kehebohan yang terjadi jauh dari yang diperkirakan.

Bahkan seharian itu, Dya lebih banyak menghabiskan waktunya di perpustakaan sekolah pada jam istirahat. Sengaja menghindari pertanyaan atau sekadar tatapan penuh tanya dari teman-teman sekelasnya.

Tidak pernah hatinya segelisah itu. Tidak pernah juga ia begitu hirau dengan segala penilaian orang karena selama ini ia memang selalu abai. Hanya mengingat hal-hal baik dari sekitarnya. Sementara hal-hal buruk selalu ia buang jauh-jauh.

Namun, lain ceritanya dengan kasus Diaz ini. Pemuda itu sudah mengusiknya terlalu dalam. Tidak main-main, bahkan ia mulai bermain dengan perasaan. Seagresif-agresifnya Aksa, tidak pernah ia menyatakan perasaan di tempat umum yang bisa dikonsumsi oleh banyak orang.

Gadis itu menghembuskan napasnya ketika tidak bisa mengerti satu pun inti paragraf yang sedang ia baca. Konsentrasinya buyar. Padahal ujian tengah semester sudah di depan mata. Jika begini terus, ia akan kesulitan untuk mempertahankan prestasi akademiknya. Kepalanya terkulai lemas di atas tangan yang terlipat di meja.

Hingga sebuah suara deritan kursi di sebelahnya membuat gadis itu mengangkat kepala. Ia melihat Diaz sedang meletakkan sebuah buku di meja kemudian duduk tepat di sebelahnya. Di telinga pemuda itu terpasang sebuah earphone seperti biasa. Entah itu hanya kamuflase atau apa, Dya tidak peduli. Satu hal yang pasti, kebenciannya pada pemuda itu semakin menjadi.

"Pantes dari tadi enggak keliatan, rupanya sembunyi di sini." Diaz berujar tanpa menoleh. Pemuda itu mulai membuka buku yang akan dibacanya.

Benar-benar membuat Dya emosi. Gadis itu pun berdiri, hendak beranjak dari sana.

"Anak-anak di kelas lagi cari kamu. Mereka penasaran mau tahu reaksi kamu sama headline di majalah sekolah. Kamu yakin mau ngadepin mereka sekarang? Bukannya kamu ke sini karena menghindari mereka?" Diaz angkat bicara sebelum Dya beranjak.

Gadis itu berpikir sejenak. Bukannya tidak mau menghadapi pertanyaan teman-teman sekelasnya, tetapi ia sedang malas saja membahas Diaz dengan siapa pun.

"Kamu puas?" tanya Dya seraya menatap pemuda di sampingnya itu penuh emosi.

"Maksud kamu?" tanya Diaz masih dengan intonasi yang tenang.

"Puas udah buat kekacauan? Jadi, begini cara kamu mau jatuhin rival kamu?" tuding Dya masih belum mengalihkan tatapannya.

Diaz menghentikan aktivitas membacanya lalu menoleh ke arah Dya. Mereka saling bertatapan seolah dengan tatapan mata itu mereka sedang mengikrarkan perang dingin.

Aktivitas saling bertatapan mereka terinterupsi saat Diaz angkat bicara beberapa sekon kemudian.

"Kamu mau ikut dengerin lagunya, gak?"

"Eh?"

Jelas Dya terkejut. Terlihat dari pupil matanya yang membesar juga bibirnya yang agak sedikit terbuka. Sementara tautan netra mereka belum terputus.

[END] Dopamin LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang