"Pengaruh suatu teladan yang baik jauh lebih bermanfaat daripada suatu teguran tajam."
Sri Sultan Hamengku Buwono VIII
❤️❤️❤️
Hari itu sepulang sekolah, Bu Nurma selaku guru PKN memanggil mereka.
"Coba Diaz sama Dya duduk dulu, ya. Jangan pulang. Ibu mau ngomong."
Keduanya yang sudah bersiap dengan tas ransel di pundak, langsung duduk kembali di kursi mereka. Keduanya bertanya-tanya, tetapi harus menahan rasa penasarannya hingga kelas kosong. Saat itulah Bu Nurma memulai obrolan.
"Kalian tau enggak, kenapa Ibu menahan kalian di sini?" tanya guru yang terkenal tegas akan norma-norma itu.
Diaz hanya menjawab dengan gelengan kepala, sementara Dya langsung angkat bicara, "Apa ada masalah dengan akademis kami, Bu? Atau ada yang bisa kami bantu?"
Paling tidak, itulah yang terlintas di pikiran Dya. Ia hanya menebak-nebak. Biasanya guru akan memanggil siswanya jika ada masalah dengan nilai akademik atau jika ingin meminta bantuan. Walaupun dugaan yang pertama rasanya sangat janggal mengingat mereka belum ada ulangan apa pun sejak masuk di tahun ajaran baru ini.
"Ayo, ikut Ibu ke ruang BK."
Bu Nurma bangkit dari kursi setelah membereskan buku-buku bahan ajarnya. Sementara Diaz dan Dya dengan refleks saling bertatapan heran. Hanya bertahan sekian detik hingga keduanya tersadar lalu memalingkan wajah.
Selama dalam perjalanan ke ruang guru, mereka berjalan di belakang Bu Nurma dengan banyak tanda tanya di kepala. Ada apa sebenarnya? Kenapa mereka sampai dipanggil ke ruang BK? Bukankah siswa yang dipanggil ke sana biasanya siswa bermasalah?
Begitu tiba di ruangan dengan enam pasang meja dan kursi itu, mereka melihat sudah ada Bu Trias selaku wali kelas dan juga kepala sekolah. Satu orang lagi adalah Bu Rina selaku guru BK kelas XII IPA.
"Silakan Diaz dan Dya duduk," ujar Bu Trias mempersilakan keduanya duduk di dua kursi yang sudah disiapkan di tengah ruangan. Sementara guru-guru yang lain duduk di kursi yang mengelilingi mereka. Rasanya seperti terdakwa.
"Kalian tahu kenapa kalian dipanggil ke ruang BK?" tanya kepala sekolah membuka percakapan.
Keduanya hanya menggeleng. Atmosfernya terasa tidak enak sehingga keduanya enggak mengeluarkan suara.
Kepala sekolah berdiri dari kursinya, kemudian menumpukan kedua tangannya di atas meja seraya menatap keduanya serius.
"Yang satu mengungkapkan perasaan lewat majalah sekolah. Yang satunya lagi di tengah lapangan sesuai upacara. Kalian lagi syuting untuk ragam acara?" Suara kepala sekolah terdengar meninggi.
Dya tertunduk sementara Diaz masih bergeming.
"Maksud kalian apa buat kehebohan di sekolah begini?" tanya Bu Rina selaku guru BK.
"Kalian itu udah terkenal, loh, di sekolah. Mau terkenal kayak gimana lagi?" timpal kepala sekolah.
Dya melirik sebentar ke arah Diaz. Seolah ingin meminta bantuan untuk keluar dari kondisi itu, tetapi ia malah tetap bergeming. Benar-benar menyebalkan. Padahal ia duluan yang memulai semua permainan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Dopamin Love
Teen FictionAnindya Milena dan Ardiaz Miryando selalu bersaing untuk menyandang predikat siswa terbaik di sekolahnya. Persaingan seolah manjadi dopamin yang membuat mereka ketagihan karena bagi keduanya, juara itu hanya ada satu. Segala macam cara mereka lakuk...