#30: Terenyuh

42 15 0
                                    

"Belajarlah dari sebuah pensil. Patah bukanlah akhir dari segalanya."

❤️❤️❤️

Dya masih ingat betapa kacaunya wajah itu ketika mereka saling bertatapan di depan ruangan tempat Dya mendengar dan menyaksikan semuanya. Wajah yang basah dengan air mata, napas tersengal tak beraturan menandakan emosi yang sedang meledak, juga mata yang menyiratkan kepedihan.

Namun, pemuda itu kini sudah duduk di sebelah Dya kembali dengan kondisi normal. Seolah kejadian menegangkan beberapa saat lalu tidak pernah terjadi.

Berkali-kali Dya menoleh ke arah Diaz untuk memastikan bahwa pemuda itu baik-baik saja. Nyatanya memang ia terlihat baik-baik saja. Tidak ada yang berubah kecuali matanya yang terlihat lebih kecil karena sembab.

"Berhenti natap aku kayak gitu," ucap Diaz saat atensi Dya tidak segera berpaling.

"Kamu enggak apa-apa, Yaz?" tanya Dya ragu. Sejak kejadian di depan pintu ruangan tadi, tidak terjadi percakapan di antara mereka.

Mereka hanya saling tatap sejenak kemudian Diaz berjalan lebih dulu meninggalkan Dya. Langkahnya cepat sekali seperti dikejar oleh emosinya sendiri. Dya tak mengejarnya karena ia tahu mungkin Diaz butuh sendiri.

Nyatanya pemuda itu justru kembali ke ruang pelatihan. Sembari berjalan, ia berusaha membersihkan wajahnya dari air mata.

"Maksud kamu?"

"Ya, kamu baik-baik aja, kan?"

"Kenapa? Kamu mau bilang kasihan sama aku?" tanya Diaz dengan intonasi suara yang berubah geram.

"Aku enggak bilang gitu."

"Jangan ikut campur urusan keluargaku. Kita tetap bersaing dan tetap jadi rival kayak biasa. Tapi, jangan bawa-bawa soal ini. Kalau kamu bener-bener manusia yang punya pikiran cemerlang, cerdas, dan berwawasan luas, kamu enggak akan gunain kelemahanku ini untuk ngalahin aku." Diaz menatap Dya dengan tatapan tajam.

Dya menghela napasnya. Sedikit tersinggung dengan kalimat Diaz itu, tetapi jika berada di posisi Diaz, Dya juga mungkin akan melakukan hal yang sama. Itu salah satu bentuk pertahanan diri agar tidak terlihat lemah.

Lagipula, masih jelas dalam ingatan Dya bagaimana Diaz diperlakukan oleh ayahnya sendiri. Ia bahkan tidak pernah berpikir akan menggunakan hal itu untuk mengalahkan Diaz dalam persaingan mereka. Baginya itu terlalu kejam.

"Aku enggak mau ikut campur. Aku cuma mau mastiin kamu baik-baik aja." Dya berusaha melembut.

"Sejak kapan kamu baik dan perhatian sama rival kamu sendiri? Seharusnya kamu seneng dan bertepuk tangan karena rival kamu enggak sebaik kamu kehidupannya."

"Terserah kamu mau mikir apa." Dya sudah lelah disalahpahami. "Aku cuma lagi berusaha jadi manusia yang kamu bilang tadi. Punya pemikiran cemerlang, cerdas, dan berwawasan luas."

Setelahnya mereka kembali diam. Fokus menyimak materi kedua, tentang teknik penulisan berita atau artikel.

❤️❤️❤️

Berbeda halnya ketika berangkat rombongan Dya dan teman-teman satu sekolahnya dibawa oleh bus, saat pulang mereka berpencar. Langsung pulang ke rumah masing-masing. Jadi, Dya memutuskan untuk menunggu sang mama. Beberapa saat yang lalu mamanya sudah menelepon agar menunggunya. Masih ada beberapa urusan yang harus mamanya selesaikan.

[END] Dopamin LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang