"Majalah Teenlit mau ditutup?" tanya Dya dengan wajah terkejut. Ia mengulangi pertanyaan itu agar lebih meyakinkan dirinya lagi, berharap apa yang ia dengar itu salah.
"Sebenernya sudah lama ada wacana itu. Tapi, beberapa orang ingin majalah tetap dipertahankan." Sang mama menjawab.
"Tapi, kenapa, Ma? Bukannya majalah Teenlit itu bagus?"
"Bagus enggak menjamin bertahannya suatu produk, Dy. Banyak hal yang kemudian menjadi pertimbangan, termasuk selera pasar dan kondisi-kondisi lainnya. Dan sebenernya udah lama banget majalah Teenlit kehilangan pasarnya. Anak-anak muda jaman sekarang lebih suka mengakses informasi di dunia maya. Udah jarang yang mau repot-repot beli majalah dalam bentuk fisik."
"Kenapa Majalah Teenlit enggak dijual secara online aja? Maksudku, jadi majalah online yang bisa diakses lewat internet."
"Ada wacana begitu, tetapi enggak menjamin penjualan yang bagus, sementar ongkos produksi dan lain-lain harus tetap ada."
"Jadi, kalau Majalah Teenlit ditutup, Mama akan kehilangan pekerjaan, dong?" tanya Dya sedih. Tidak mengira jika terbongkarnya status Diaz akan berbuntut panjang begitu bagi perusahaan.
"Kemungkinan besar, iya. Kemungkinan lain juga enggak. Mungkin akan dialihkan ke anak perusahaan lain. Tapi, lihat kondisi perusahaan yang diberitakan ini kemungkinan kecil untuk dialihkan ke anak perusahaan lain."
Obrolannya dengan sang mama itu masih terngiang-ngiang di telinga Dya.
"Woy, si Ega tengkar sama Adel kelas IPS. Mereka guletan sampe jambak-jambakan." Rudi yang baru tiba di kelas dengan napas terengah-engah, memberi pengumuman.
Dya yang baru saja duduk di kursinya langsung bangkit.
"Di mana, Rud?" tanya Dya penasaran. Pantas saja sudah sesiang itu kelas masih sepi. Rupanya ada huru hara di luar sana.
"Di Deket kantin sekolah."
Bergegas Dya ke tempat yang dimaksud Rudi. Kerumunan siswa mulai terlihat begitu Dya berbelok di ujung lorong. Terdengar teriakan dan makian sambil sesekali juga terdengar erangan kesakitan. Beberapa orang siswa berusaha memisahkan mereka, tetapi terpental. Kedua gadis itu cukup kuat untuk dipisahkan.
"Dasar lo enggak tau malu! Memangnya lo pikir selama ini bisa bertahan di majalah sekolah karena siapa, hah?" teriak Adel sembari menjambak rambut Adelia yang di dekat telinga.
"Memangnya yang selama ini pontang-panting nyari berita itu, siapa, hah? Gue yang jungkir balik termasuk jilat sana-sini, khianat sana-sini. Tapi, apa yang gue dapet? Semua usaha gue nggak ada harganya di mata lo," sahut Ega tak mau kalah. Ia pun ikut menjambak kunciran rambut Adel dengan kuat.
"Jangan salahin gue dong kalau lo jadi penjilat. Itu kemauan lo sendiri."
"Diem lo mulut cablak!" teriak Ega sembari menutupi mulut Adel dengan tangannya yang bebas.
"Lepasin gue, setan!"
"Lo yang setan. Otak lo itu otak setan tau, gak. Biar semua orang tau, ya. Lo yang nyebarin gosip Diaz itu anak haram. Gara-gara otak setan lo banyak yang jadi korban sekarang. Dasar gila lo ini!"
"Lo yang gila! Sakit jiwa! Lepasin gue!"
"Enggak akan!"
"Berhenti kalian!"
Itu teriakan Bu Rina yang datang bersama beberapa orang siswa. Rupanya ada yang mengadukan kejadian itu ke guru BK.
Tepat setelahnya bel tanda masuk berbunyi. Kerumunan disuruh bubar dan kembali ke kelas masing-masing. Sementara Ega dan Adelia segera dibawa ke ruang BK untuk dibina.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Dopamin Love
Teen FictionAnindya Milena dan Ardiaz Miryando selalu bersaing untuk menyandang predikat siswa terbaik di sekolahnya. Persaingan seolah manjadi dopamin yang membuat mereka ketagihan karena bagi keduanya, juara itu hanya ada satu. Segala macam cara mereka lakuk...