"Pinjam tangan seseorang untuk membunuh. Serang dengan menggunakan kekuatan pihak lain."
---Sun Tzu---
❤️❤️❤️
"Siniin ponsel kamu," ujar Aksa setengah memaksa karena Dya terus-terusan menolak."Kamu mau apain ponsel aku, Sa?" tanya Dya kemudian menyerah. Ia tahu kalau Aksa sudah setengah memaksa begitu, itu artinya ia sangat serius. Aksa itu terlihat fleksibel, tetapi akan jadi sekuat baja kalau sudah punya keinginan.
"Cuma mau transfer lagu yang aku temuin kemaren. Aku suka lagunya." mata Aksa berkilat antusias saat mengirimkan data ke ponsel Dya.
"Kan bisa dikirim aja. Kenapa sampe harus pinjem ponselku?"
"Ada yang mau aku ketik," jawab pemuda itu tanpa mengalihkan atensinya dari layar ponsel Dya.
"Terus?"
"Ya semoga kamu suka juga." Aksa mengangkat wajahnya, menatap Dya dengan senyum berbinar yang polos seperti anak kecil.
Dya menghela napasnya. Jika begini ceritanya bagaimana bisa ia menjauhi Aksa seperti rencananya beberapa hari lalu. Aksa itu happy virus. Serius. Kebahagiaan yang ia rasakan bisa ia transfer ke orang lain dengan sangat mudah hanya dengan binaran di matanya. Luar biasa.
"Udah, nih. Coba kamu dengerin." Aksa mengembalikan ponsel Dya kemudian mengeluarkan beberapa minuman sari buah lemon dari tasnya. Keinginan Dya untuk mendengarkan lagu yang baru saja dikirim Aksa jadi hilang.
"Ini apa?" tanya Dya keheranan saat pemuda bersenyum manis itu menyodorkan minuman kotak itu kepadanya.
"Buat asupan kamu hari ini. Kata papaku buah lemon bagus untuk regenerasi sel kulit. Biar luka robek di dagu kamu cepet pulih."
Aksa, bisa gak sih kamu gak sebaik ini sama aku?
"Aku udah bawa bekel dari rumah dengan kadar kalori dan protein yang cukup. Kamu gak perlu khawatir begitu." Dya menolak secara halus. Ia hanya tidak ingin selalu bergantung dengan Aksa.
Bagaimana pun caranya Dya harus pelan-pelan menjauhinya. Untuk kebaikan Aksa juga. Untuk kebaikan kondisi hatinya yang akan terluka jika Dya tidak kunjung membalas perasaannya.
"Aku khawatir waktu papa cerita kamu ke tempat prakteknya, bahkan sampe CT Scan segala."
"Astaga, itu cuma mamaku aja yang berlebihan. Lukaku gak separah itu, kok."
"Aku tau, tapi tetep aja aku khawatir."
"Aku gak apa-apa, Aksa. Aku bisa jaga diriku aku sendiri. Aku gak selemah itu!" tegas Dya.
Aksa pun terdiam. Ia tahu bahwa Dya adalah gadis yang kuat. Sejak kecil ia sudah sering ditinggal orang tuanya ke luar kota. Ia biasa sendiri dan sangat mandiri. Namun, apa salah jika dirinya ingin memberikan perhatian sedikit saja?
Atensi Dya teralihkan ketika melihat Diaz tiba di kelas. Sejenak mereka bertemu tatap sebelum pemuda itu melirik sekilas ke arah Aksa kemudian memalingkan wajah.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Dopamin Love
Ficção AdolescenteAnindya Milena dan Ardiaz Miryando selalu bersaing untuk menyandang predikat siswa terbaik di sekolahnya. Persaingan seolah manjadi dopamin yang membuat mereka ketagihan karena bagi keduanya, juara itu hanya ada satu. Segala macam cara mereka lakuk...