"Bagaimana hampa bisa menyakitkan? Hampa harusnya berarti tidak ada apa-apa. Tidak apa-apa berarti tidak ada masalah. Termasuk rasa sakit."
Dee
❤️❤️❤️
"Kakak siapa?"
Pertanyaan itulah yang terlontar dari bocah berusia tujuh tahun bernama Farel itu.
"Anindya Milena. Panggil aja Dya," jawab Dya asal.
"Bukan nama Kakak, loh. Tapi, Kakak siapa? Kata Ayah, aku enggak boleh deket-deket sama sembarangan orang." Farel bersikeras.
Bagaimana menjelaskannya?
Dya melirik sebentar ke arah Diaz yang menunggu di seberang jalan. Pemuda itu tadi menawarkan bantuan untuk menemani Dya bertemu Farel. Namun, Dya menolaknya. Semata hanya ingin menjaga perasaan Diaz yang orangnya sendiri mengatakan bahwa nasibnya sama seperti Farel.
"Kakak bukan orang jahat, kok." Dya menjelaskan lagi.
Bu guru yang mendampingi Farel segera memberi pengertian kepada anak itu.
"Farel, ini kakaknya Farel. Tadi, Bu guru sudah telepon Ayah Farel, katanya yang jemput Farel adalah Kak Dya ini."
"Tapi, aku enggak punya kakak, Bu Guru," jawab anak kecil itu dengan polosnya.
Bu gurunya Farel menatap Dya dengan bingung. Sementara Dya hanya bisa balas menatap dengan senyum kikuk.
"Saya kakak tirinya Farel, Bu." Dya menjelaskan lagi.
"Ah, kakak ini anaknya ayah Farel, tetapi ibunya beda."
Merasa momennya semakin aneh dan canggung, Dya pun menarik tangan Farel.
"Kakak beliin es krim mau enggak? Nanti kita makan bareng sama temen kakak."Dya berusaha membujuk.
"Tapi, aku belum kenal sama Kakak." Bocah itu masih bersikeras.
Dya mengembuskan napas putus asa. Lalu muncullah ide itu di kepalanya. Ia mengeluarkan ponselnya kemudian mencari sesuatu di galeri fotonya. Hanya butuh waktu tidak sampai satu menit, Dya menemukannya.
"Ini foto kakak sama ayah kamu." Dya memperlihatkan fotonya bersama sang papa yang diambil tahun lalu ketika mereka berlibur ke tempat rekreasi yang ada di Jakarta Utara.
"Ayah," gumam Farel seraya menatap foto yang Dya tunjukkan.
"Nah, yang di sebelahnya ini kakak." Dya menimpali.
Farel terdiam. Dya pikir bocah itu akan langsung luluh, tetapi nyatanya tetap menolak diajak pergi oleh Dya.
Merasa usahanya akan sia-sia dan buang-buang waktu saja, maka Dya menyerah. Ia bilang kepada ibu guru yang menemani Farel sampai jemputannya tiba bahwa ia tidak jadi membawa Farel pergi.
Beberapa saat kemudian ia menghampiri Diaz yang sedang duduk di kursi sebuah kafe yang ada di seberang sekolah. Pemuda itu sedang asyik membaca buku. Menyadari presensi Dya yang duduk di hadapannya, ia pun menutup buku yang sedang dibacanya itu.
"Mana adik kamu?" tanya Diaz keheranan. Ia celingukan mencari si adik kecil. Namun, Dya benar-benar datang seorang diri.
"Enggak berhasil. Dia enggak mau ikut aku," jawab Dya sembari menopangkan dagu di atas tangan yang ia lipat di meja.
Diaz tersenyum mendengarnya. Jadi teringat lagi saat pertama kali ia dibawa sang papa ke rumah mereka yang besar. Saat itu Rion menyambutnya dengan riang dan antusias. Namun, Diaz justru ketakutan karena masih merasa asing.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Dopamin Love
Genç KurguAnindya Milena dan Ardiaz Miryando selalu bersaing untuk menyandang predikat siswa terbaik di sekolahnya. Persaingan seolah manjadi dopamin yang membuat mereka ketagihan karena bagi keduanya, juara itu hanya ada satu. Segala macam cara mereka lakuk...