#51: Lihat Aku

32 6 2
                                    

"Orang pintar belajar dari pengalamannya sendiri. Orang cerdas, belajar dari pengalaman orang lain. Sementara orang bijak, belajar dari keduanya."

Dewa Eka Prayoga


❤️❤️❤️

Keesokan paginya, ketika mereka sedang melakukan ke museum pers yang ada di Kota Solo, Diaz baru memiliki kesempatan untuk bicara dengan Dya. Sejak semalam, mereka hanya bertemu ketika evaluasi kegiatan usai makan malam. Itu pun hanya saling tatap sejenak kemudian tersenyum. Selebihnya mereka kembali ke kamar masing-masing kelompok.

Diaz mendekati Dya yang sedang duduk seorang diri di pelataran museum. Sementara teman-teman mereka yang lain mulai berpencar usai penjelasan soal museum oleh petugas. Mereka boleh berkeliling sendiri.

"Kamu enggak keliling?" tanya Diaz sembari duduk di sebelah Dya. Mereka duduk di undakan tangga yang ada di depan gedung.

"Kamu sendiri enggak keliling?" tanya Dya seraya menoleh ke arah Diaz.

"Mau keliling? Kita keliling bareng, yuk. Sambil ngobrol." Diaz tersenyum.

"Tapi, aku lagi males ngapa-ngapain."

"Ya udah, aku temenin di sini."

Senyap sesaat. Hanya terdengar deru kendaraan dari jalan raya yang berada di depan gedung. Juga sesekali terdengar suara dedaunan dari pohon di pelataran gedung yang saling bergesek karena tertiup angin.

Dya membiarkan saja poninya tersibak angin. Ia justru memejamkan mata sembari sesekali menghirup napas dalam-dalam. Diaz pun melakukan hal yang sama. Sebelumnya ia melepas kacamatanya terlebih dahulu.

"Enggak terlalu seger juga udaranya. Udah banyak debu," komentar Diaz, tetapi matanya masih terpejam.

"Kita di pinggir jalan, Yaz. Kalau di dalam gedung, ya, enggak seberapa terhirup debunya." Dya menanggapi seadanya.

"Terus, kenapa kamu betah di sini padahal banyak debu."

Dya menoleh ke arah Diaz. Sejenak ia tertegun melihat wajah Diaz tanpa kacamata. Memang sedikit berbeda. Bahkan terlihat lebih baik dari foto yang pernah Rion kirimkan.

"Dy?" tegur Diaz seraya melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Dya. Gadis itu terkesiap dan langsung memalingkan wajahnya. Matanya menatap ke arah jalan raya dengan wajah yang bersemu merah.

"Kenapa?" tanya Dya.

"Kamu natap aku terus sampe enggak berkedip."

"Sekarang udah enggak," protes Dya.

"Kamu belum jawab pertanyaanku."

"Yang mana?"

"Bagusan pakai kacamata atau enggak?" tanya Diaz seraya memosisikan jari telunjuk dan jempolnya di bawah dagu.

"Enggak ada pertanyaan lain lagi, apa?" sungut Dya seraya pura-pura mengusap wajahnya untuk menyembunyikan rona merah yang terlihat samar di sana.

"Banyak. Tapi, yang satu itu aja belum dijawab."

"Senyamannya kamu aja yang mana. Mau pakai kacamata atau enggak, kamu yang ngerasain nyamannya, bukan orang yang ngelihat," jawab Dya dengan sok bijak.

"Aku tanya menurut kamu, bukan menurut senyamannya aku." Diaz kembali protes.

"Bagusan enggak pake." Setelah menjawab itu Dya langsung berbalik badan menghindari tatapan Diaz tanpa kacamata yang sudah berhasil membuat jantungnya berjumpalitan di dalam sana.

[END] Dopamin LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang