#42: Munafik

25 7 0
                                    

"Jika berkata, dia berdusta. Jika berjanji, dia ingkari. Jika diberi amanah, dia berkhianat."

Bukhori dan Muslim


❤️❤️❤️


Jika sebelumnya Diaz suka menyendiri dan jarang mengobrol dengan teman-teman sekelasnya, sejak berita di majalah sekolah itu ia semakin menjauh. Hanya terlihat di kelas ketika jam pelajaran. Selebihnya ia menghilang entah ke mana.

Dya pernah mencarinya ke perpustakaan sekolah, tempat pemuda itu biasa menghabiskan jam istirahatnya. Namun, sosok itu tidak ada di sana. Pernah juga ia mencari ke ruang sekretariat OSIS, justru kata teman-teman pengurus yang lain Diaz tak pernah lagi ke sana sejak insiden ia dipukul Aksa.

Bahkan ketika pemilihan ketua OSIS digelarpun, sosok itu tidak pernah muncul.

Setengah putus asa, Dya bertanya kepada Jonas. Dari sekian sedikit orang yang terlihat sering berinteraksi dengan Diaz, Jonaslah yang terlihat paling akrab.

"Jo, Diaz ke mana?"

Jonas terlihat bingung untuk menjawab. Di satu sisi ia juga tidak tahu di mana keberadaan Diaz. Di sisi lain, ia tidak mengira jika Dya jadi sebucin itu dengan Diaz. Sesedih itu jika Diaz tidak berada dalam jangkauan matanya.

"Dy, kamu sesuka itu ya sama Diaz?"

"Jo, aku nanya, lho. Kenapa kamu jawab sama pertanyaan juga? Kamu sembunyiin di mana Diaz?"

Wajah Jonas semakin bengong saja mendapat pertanyaan begitu.

"Kalau aku sembunyiin di kantongku, udah aku kasih ke kamu sekarang, Dy," jawab Jonas seraya menghela napasnya.

"Aku kewalahan jadi wakil ketua kelas kalau Diaz gak ada." Dya berkata lagi.

Jonas tampak menelan ludahnya sendiri. Ia pikir Dya mencari Diaz karena merasa kehilangan. Tidak tahunya karena tugas perangkat kelas. Sejak Diaz sering menghilang, Dyalah yang menggantikan semua tugas Diaz.

"Ada yang bisa aku bantu, Dy?" Jonas menawarkan bantuan.

"Enggak ada, Jo."

"Kalau kamu kesusahan urus kelas selama Diaz gak ada, kamu bisa bilang ke aku atau Aksa. Aku yakin Aksa mau bantu. Dia juga kan sekretaris kelas."

"Enggak usah repot-repot, Jo. Aku cuma butuh Diaz. Sepi enggak ada dia. Enggak ada yang bisa diajak sinis-sinisan, enggak ada yang bisa diajak tengkar mulut."

"Sama aku aja, Dy. Aku siap nemenin kamu tengkar mulut," sahut Dodi yang menyambar seperti aliran listrik bertemu air.

"Kamu cukup tengkar mulutnya sama Rudi, ya. Aku enggak mau ambil partner orang," sahut Dya asal.

"Yah, nasib!"

"Eh, apaan nama gue disebut-sebut," sahut Rudi yang baru tiba di kelas.

"Rudi tau di mana Diaz enggak?" todong Dya tanpa berbasa-basi.

"Waduh, Dy. Jangan tanya ke aku itu, mah. Harusnya kamu yang lebih tahu. Kan kamu pacarnya Diaz."

Seketika Dya terdiam. Ia lupa jika selama ini seisi sekolah menganggap mereka seperti itu.

"Sa, Lo tau di mana Diaz berada?" tanya Dodi saat melihat Aksa datang dengan tubuh mandi keringat. Habis bermain bola di lapangan sekolah. Bisa ditebak, ia ke kelas untuk minum dan mengambil handuk kecil yang biasa ia gunakan untuk mengeringkan wajah. Dya sampai hafal kebiasaan itu.

"Ngapain nyariin Diaz? Tumben, biasanya ngejogrok di situ enggak ada yang nyariin," jawab Aksa seraya menunjuk bangku Diaz yang kosong dengan dagunya.

"Ya, kalau ada mah, enggak dicariin, Bos!" kilah Dodi.

[END] Dopamin LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang