"Jarak aman mengagumi adalah mengagumi diam-diam."
Anonim
❤️❤️❤️
Berpasang-pasang mata menatap mereka ketika meninggalkan ruang sekretariat OSIS. Dya tidak peduli lagi dengan anggapan yang ada di kepala mereka. Tangannya erat menggenggam sisi tas ransel Diaz. Agak menyeret pemuda itu untuk mengikutinya ke ruang kesehatan sekolah. Ia akan minta kuncinya ke anggota PMR yang biasanya berkumpul di sekretariat mereka sepulang sekolah."Aku enggak apa-apa." Diaz berkata untuk yang kesekian kalinya, tetapi tetap tak digubris oleh Dya.
"Dy!" panggil Diaz dengan suara yang agak keras.
Barulah kali ini Dya mengindahkannya. Gadis itu menghentikan langkah kemudian menatap Diaz dengan penuh tanya.
"Kamu bukannya enggak kenapa-kenapa. Wajah kamu memar!" tegas gadis itu dengan nada yang serius.
"Iya, memar! Tapi, aku enggak apa-apa. Aku mau balik ke ruang OSIS. Mau ikut rapat." Diaz berbalik badan sehingga mau tidak mau Dya harus melepaskan pegangannya di sisi ransel Diaz.
"Aku cuma takut papa kamu lihat. Terus nanti kamu dapet masalah lagi," ujar Dya seraya tertunduk lesu. Ia sadar sudah berbuat terlalu jauh dengan menggeret paksa Diaz dari ruang OSIS dengan disaksikan oleh berpasang-pasang mata.
Diaz memutar kembali tubuhnya dan berdiri menghadap Dya. Keduanya kini berdiri saling berhadap-hadapan.
"Soal papaku, kamu gak perlu khawatir. Papa lagi pergi ke Manado sama Kak Rion. Bisa tiga sampai empat hari baru pulang. Memarku udah ilang waktu papa pulang nanti," jawab Diaz menenangkan.
"Kenapa?" tanya Dya dengan mata berkaca.
"Kenapa apanya?" Diaz bertanya keheranan.
"Kenapa Aksa bisa sampai mukul kamu?"
"Kenapa tanyanya ke aku? Harusnya kamu tanya ke Aksa. Dia yang tahu alasannya."
Benar juga. Harusnya Dya bertanya apa Diaz baik-baik saja.
"Aksanya udah enggak ada. Kalau ada pasti aku interogasi dia," jawab Dya tegas.
"Untuk apa kamu ngelakuin hal itu?" Diaz bertanya seraya menatap Dya dengan intens.
"Untuk apa? Aku cuma pengen tahu kenapa. Memangnya ada yang salah?"
"Kenapa kamu pengen tahu apa yang terjadi antara aku dan Aksa?"
"Karena Aksa temen aku. Aku tahu banget dia bukan tipe orang yang suka emosian. Bahkan selama aku kenal sama Aksa, dia enggak pernah marah. Pites semut aja dia enggak tega, apa lagi ini mukul orang. Kayak bukan Aksa banget," jelas Dya keheranan.
"Jadi, maksud kamu, kemungkinan besar aku yang salah dalam hal ini?" tanya Diaz dengan perasaan kesal, tetapi coba ia samarkan dalam ekspresi datarnya.
"Aku enggak bilang gitu, Diaz."
"Tadi kamu bilang Aksa enggak mungkin begitu. Aksa baik. Enggak pernah marah apa lagi sampai mukul orang. Terus aku?"
Dya menghela napasnya. Kenapa malah jadi ke mana-mana arah pembicaraan mereka? Hubungan mereka membaik, tetapi pola argumen mereka tetap sama.
"Oke, kalau aku salah ngomong, aku minta maaf." Dya mengalah. Tak ingin memperpanjang masalah seperti halnya yang selama ini selalu ia dan Diaz lakukan.
"Yakin, Dy? Kamu susah payah cari tahu soal ini cuma karena kamu khawatir sama Aksa sebagai teman kamu? Enggak ada penyebab lain?" tanya Diaz kemudian.
"Iya," jawab Dya singkat. Ia pun masih bingung dengan maksud pertanyaan Diaz itu.
"Kenapa kamu enggak coba cari Aksa? Kenapa orang yang kamu cari pertama itu aku? Kamu yakin enggak lagi khawatir sama aku juga?"
Dya terdiam sesaat. Otaknya berusaha mencerna semua perkataan Diaz. Barulah setelahnya ia bisa kembali berpikir jernih.
"Aku memang mau cari Aksa. Ternyata dia enggak ada. Adanya kamu di ruang OSIS, sementara kamu adalah korbannya Aksa. Menurut kamu, aku harus diem aja gitu? Memar kamu itu hasil perbuatan temenku, loh."
"Ternyata memang bener-bener cuma Aksa, ya? Ya udah, deh, kalau gitu."
Pemuda itu tiba-tiba berbalik lagi, meninggalkan Dya yang semakin kebingungan dengan sikap Diaz. Tadinya Dya hendak mengejar, tetapi setelah dipikir lagi untuk apa. Jika memang niat Dya mencari tahu perihal insiden itu adalah karena ia temannya Aksa, maka memang Aksalah orang yang harus ia cari terlebih dahulu.
Dya pun berbalik sembari mencari ponselnya di dalam tas. Ia berusaha menghubungi Aksa. Siapa tahu saja dirinya masih berada di salah satu sudut sekolah yang bisa Dya jangkau saat itu.
Nada sambung terdengar selama sekian detik hingga akhirnya sebuah menyapa ruang dengarnya.
"Sa, kamu di mana?" cecar Dya tanpa basa-basi.
"Tumben kamu nyariin aku?"
"Cepet bilang di mana?"
"Napa, sih?"
"Jawab, Aksa! Atau kamu mau aku musuhin seumur hidup?"
"Lagi di atas motor. Lapangan parkir sekolah. Bentar lagi mau pulang."
"Tunggu! Aku mau nebeng pulang!"
Secepat kilat Dya memutus teleponnya dan sedikit berlari ke lapangan parkir sekolah tanpa menunggu jawaban dari Aksa. Dya tahu Aksa tidak akan meninggalkannya. Aksa itu tipe teman yang setia.
Benar saja keyakinan Dya. Begitu ia tiba di lapangan parkir sekolah, pemuda itu sedang menunggunya. Menyodorkan helm kepadanya saat ia sudah mendekat.
"Kenapa kamu masih di sekolah?" tanya Aksa seraya memakai helmnya.
"Ada sedikit urusan tadi," jawab Dya seraya memakai helmnya juga.
"Kamu enggak rapat OSIS?" tanya Aksa saat hendak menghidupkan mesin motornya. Mendengar pertanyaan Dya, ia jadi urung melakukannya.
"Lagi males," jawab Aksa asal.
"Bukan kayak Aksa yang biasanya. Apalagi Aksa sebagai ketua ekskul sepakbola. Kamu siapa? Hayo, ngaku!" Dya menceracau.
Aksa malah terkekeh mendengar racauannya itu. Hilang sudah ketegangan dan kesuraman raut wajah yang Dya lihat beberapa saat lalu.
"Kenalin, aku Aksi. Kembarannya Aksa." Aksa menimpali dengan suara yang dibuat-buat seperti anak perempuan.
Kini giliran Dya yang tertawa mendengar suara buatan Aksa.
"Kamu enggak cocok jadi Aksi. Cocoknya jadi Aksa. Makanya jangan berubah," kelakar Dya.
Aksa hanya tersenyum sembari menatap wajah Dya. Sudah lama sekali baginya momen bersama Dya seperti ini tercipta. Belakangan Dya lebih sibuk dengan Diaz. Kehadiran Aksa seolah terlupakan.
"Katanya mau pulang. Kok malah bengong liatin aku?" protes Dya saat melihat Aksa hanya mematung.
"Abisan tawa kamu itu candu. Aku jadi pengen lihat terus."
"Gombal, Sa."
"Serius."
"Aku mau ngomong serius sama kamu. Kenapa kamu mukul Diaz? Sebenarnya itu yang mau aku omongin."
Aksa terdiam. Tidak kelas menjawab.
"Jawab, Sa."
"Karena kamu, Dy. Aku mukul dia karena kamu. Dia main-main sama kamu. Aku enggak terima kamu jadi bahan mainan dia. Kamu terlalu berhara untuk dimainin, Dy. Dia keterlaluan."
"Maksud kamu, apa, Sa?"
"Dia sekongkol sama Ega untuk ngelakuin yang enggak-enggak sama kamu, Dy. Aku lihat sendiri sama mata kepalaku sendiri."
Dya tercengang. Jelas tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
❤️❤️❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Dopamin Love
JugendliteraturAnindya Milena dan Ardiaz Miryando selalu bersaing untuk menyandang predikat siswa terbaik di sekolahnya. Persaingan seolah manjadi dopamin yang membuat mereka ketagihan karena bagi keduanya, juara itu hanya ada satu. Segala macam cara mereka lakuk...