#57: Lelah

22 3 0
                                    

Tidak bersemangat melakukan apa pun. Dya bagaikan kehilangan semangatnya untuk berprestasi. Itulah yang dirasakan Dya di sepanjang awal semester genap sekolahnya.

Beberapa kali try out dilakukan dan ketika diumumkan hasilnya, nilai Dya bahkan tidak masuk tiga besar. Sementara Diaz, walaupun nilainya tidak maksimal, ia tetap menjadi yang nomor satu. Seisi kelas bahkan sampai menyadari perubahan yang terjadi kepada Dya.

Puncaknya, ketika pada akhirnya Dya dipanggil ke ruang BK. Raganya memang di sana, tetapi jiwanya melayang-layang tak tentu arah. Sehingga apa yang disampaikan oleh guru BK-nya seperti hanya mampir di telinga. Tidak ada satu perkataan pun yang masuk ke dalam hatinya.

Jiwanya selalu merasa untuk apa lagi ia berusaha payah seperti sebelumnya. Jungkir balik belajar, tetapi untuk apa? Bukan bahagia yang ia dapatkan, tetapi justru kenangan pahit.

Saat Dya keluar dari ruang BK, seseorang sudah menantinya.

"Diaz?" tanya Dya setengah terkejut.

"Boleh ngobrol sebentar?" tanya Diaz seraya menyejajari langkah Dya di koridor sekolah.

"Soal apa?"

"Kita."

"Memangnya ada apa dengan kita? Kenapa kita harus menjadi topik obrolan?"

"Sebagai rival yang setia, tentu aja aku kecewa dengan kondisi kamu belakangan ini. Jika begini terus, lama-lama aku enggak punya rival lagi." Diaz berkata dengan sedih.

"Aku lagi males untuk melakukan apa pun. Kalau kamu lagi butuh rival yang aktif seperti semester lalu, kamu cari rival lain aja, Yaz." Dya berkata pasrah.

"Mana bisa begitu!" protes Diaz.

"Loh, kan sama aja. Cuma perkara nilai. Enggak masalah dong siapa orangnya. Hanya soal kebiasaan."

"Beda kalau orangnya bukan kamu!" Diaz berkata tegas.

Hal itu tentu meninggalkan bekas di hati Dya.

"Aku enggak mau cari rival lain. Maunya cuma sama kamu." Diaz berkata lagi.

Dya tertegun sejenak. Merasakan sensasi sebagai orang yang dibutuhkan dalam hatinya. Ia begitu merasa nyaman, tetapi juga ada rasa khawatir.

"Yaz, kamu kan tahu kalau aku udah kehilangan alasan untuk tetapi berprestasi? Tadinya aku jungkir balik belajar supaya papaku bisa pulang untuk memberikan apresiasinya. Sekarang, setelah tahu semuanya, apa yang bisa aku harapkan? Keinginan sederhana aku itu cuma angan-angan. Jadi, untuk apa lagi aku belajar?"

"Dy, apa aku enggak cukup istimewa buat kamu sampai kamu enggak bisa jadiin aku sebagai alasan untuk tetap berprestasi kayak dulu?"

"Untuk apa, Yaz?"

"Jadiin aku alesan untuk kamu harus jadi nomor satu. Kalahin aku. Kamu akan merasa seneng, kan? Bukannya itu yang kamu juga lakukan semester lalu."

Dya hanya tersenyum getir mendengar penuturan Diaz. Tidak semudah itu mengubah posisi seseorang di dalam hati manusia. Tentu saja walau seistimewa apa pun Diaz bagi Dya, tetap tidak bisa menggantikan posisi sang ayah di hati Dya.

"Enggak bisa, Yaz. Kamu beda sama papa. Aku enggak bisa nyamain kalian."

"Ya, tentu aja beda, Dy. Aku enggak nyuruh kamu banding-bandingin aku sama papa kamu. Tapi, coba kamu cari alasan lain untuk tetap berprestasi. Lakuin semua itu bukan karena orang lain, tetapi kamu memang pantes mendapatkannya."

"Apa aku pantes?" Dya tertawa.

"Pantes. Semua orang pantes mendapat yang terbaik."

Mata Dya berkaca menatap pemuda yang ada di hadapannya itu.

"Makasih, Yaz. Omongan kamu udah menghibur aku. Tapi, maaf. Aku memang udah enggak ada niatan berkompetisi lagi. Bagiku semuanya sia-sia."

"Paling enggak, kamu masih punya mama yang menanti kamu berprestasi. Sementara aku, aku enggak punya siapa-siapa yang menghargai usahaku. Tapi, aku lupa satu hal. Bahwa aku masih punya diriku sendiri yang selamanya selalu menerima aku apa adanya. Kamu juga sama. Dalam hal itu aja kamu udah unggul satu poin dari aku."

Dya masih menatap Diaz dengan mata yang berkaca. Dalam hatinya menggema kata-kata, masih ada diri sendiri yang bisa menerima kamu apa adanya, Dy.

"Ayo, kita selesaikan ini sama-sama sebagai rival. Sampai garis akhir di mana kita dinyatakan lulus atau tidak. Jangan tinggalin aku sendirian di tengah kompetisi. Seolah aku menang karena tidak ada lawan. Itu bukan hakikat menang yang sesungguhnya."

Dya tidak langsung mengiyakan ajakan Diaz untuk terus berkompetisi meraih nilai tertinggi satu angkatan. Melainkan ia segera mengalihkan pembicaraan.

"Yaz, kenapa kamu masih terus deketin aku padahal waktu itu aku udah nolak kamu?" tanya Dya lirih.

Ia kembali teringat ketika Diaz menyatakan perasaannya dan Dya memberi jawaban sama seperti jawaban yang ia berikan kepada Aksa. Bahwa Dya tidak ingin pacaran. Ia ingin fokus dengan kehidupan akademisnya. Namun, lama kelamaan Dya mengingkari semuanya. Kehidupan akademisnya hancur walaupun ia tidak pacaran.

"Kamu enggak inget, apa yang aku bilang tentang kamu waktu itu? Kamu itu dopaminku untuk terus berprestasi. Tapi, dopamin itu hilang semenjak kamu enggak lagi antusias untuk berprestasi."

"Aku kena karma, ya, Yaz? Aku nolak Aksa juga kamu karena alasan mau fokus sama akademis. Enggak tahunya malah jadi kacau juga semuanya tanpa adanya kalian."

"Bukan, Dy. Kamu hanya kehilangan arah. Enggak tahu harus bagaimana untuk mengapresiasi diri sendiri. Padahal untuk bahagia, kita enggak butuh validasi dari orang lain. Cukup diri kita sendiri. Lakuin semuanya untuk kebahagiaan kita. Bukan untuk kebahagiaan orang lain. Kalau kamu udah bisa membahagiakan diri sendiri, maka kamu baru bisa berbagi kebahagiaan itu dengan orang lain. Bukan kebalikannya. Itu malah hanya akan menyiksa diri kita sendiri."

Dya merenungi kata-kata Diaz itu hingga ketika ia tiba di rumah. Sebuah kejutan menantinya. Sang papa yang selama ini dirindukan, tetapi membuatnya kecewa hadir untuk menyambut kepulangannya.

"Papa pulang untuk kamu, Dy," ujar sang papa lirih. Jelas sinar kerinduan itu memancar dari kedua matanya yang sendu.

Seharusnya Dya senang. Seharusnya ia langsung memeluk sosok itu begitu erat. Namun, kini sosok itu terasa asing baginya. Kakinya bahkan tidak mau diajak beranjak. Sehingga Dya hanya diam mematung di tempat.

"Untuk apa pulang?" Pertanyaan itulah yang menggenapi sikap cuek Dya terhadap sang ayah.

"Untuk kamu, Dy." Sang papa menjawab dengan meyakinkan.

"Untuk aku atau untuk memenuhi panggilan sidang perceraian mama sama papa?" Sindir Dya dengan tatapan yang tajam.

"Dy, kamu?"

"Iya, aku udah tahu semuanya. Mama yang cerita. Papa keterlaluan banget, ya. Udah selingkuh dari mama, terus sekarang pakai bohong segala pulang karena aku."

"Papa bisa jelasin semuanya, Dy. Sini duduk dulu, kita ngobrol sebentar."

"Maaf, Pa. Aku capek. Mau istirahat di kamar." Dya melengos pergi ke kamarnya. Begitu sampai ia banting pintu kamarnya kuat-kuat seolah ingin melampiaskan semua ganjalan di hatinya pada benda kayu itu.

Ia lelah. Sangat lelah. Hingga rasanya tidak sanggup lagi mengeluarkan air mata. Rasanya begitu hampa, tetapi menyesakkan.

❤️❤️❤️

❤️❤️❤️

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.




[END] Dopamin LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang