"Mak-maksud Mama apa?" tanya Dya dengan wajah syok. Bukannya ia tidak mengerti maksud ucapan sang mama, tetapi ia hanya sedang melakukan pertahanan agar dirinya tidak terluka dengan menyangkal kenyataan.
"Mama sudah tahu kalau Papa kamu punya wanita lain," jawab sang mama dengan suara yang bergetar. Sekuat tenaga wanita itu tampak menahan air matanya untuk tidak tumpah.
"Ma, sejak kapan Mama tahu?" tanya Dya tak terima. Apa hanya ia seorang yang baru tahu masalah itu? Sungguh terlalu, pikirnya.
"Beberapa tahun setelah papa kamu memutuskan untuk lebih banyak stay di Jogja untuk ngurusin proyeknya. Waktu itu kebetulan Mama lagi ada pelatihan jurnalis di sana. Kayak kamu kemarin, mama enggak kasih tahu papa kamu kalau mama mau ke sana. Pikir mama mau kasih kejutan. Enggak tahunya malah mama yang dapet kejutan." Sang mama menyeka air matanya yang sudah menetes. Tak sanggup lagi ia bendung air matanya.
"Itu waktu Dya masih SMP kan, Ma?" tanya Dya dengan perasaan yang perih seperti tercabik-cabik.
Ia masih ingat betul kala itu dunianya seperti terguncang ketika sang papa memutuskan untuk bekerja di luar kota. Padahal ia begitu dekat dengan sang papa. Sejak saat itu dunia Dya berubah. Ia mulai berambisi dengan nilai akademik. Sang mama pun mulai mengaturnya ini dan itu dengan dalih demi kebaikannya.
"Iya. Papamu punya perempuan lain sejak kamu SD, Dy. Waktu papa masih sering bolak-balik Jogja-Jakarta."
"Gimana bisa Mama nyembunyiin semua itu selama ini? Bahkan Dya sama sekali enggak tahu soal itu kalau Mama enggak cerita barusan. Waktu papa pulang pun Mama keliatan biasa aja." Dya bertanya keheranan.
"Kamu enggak nyadar, Dy? Setiap kali papamu pulang, seringnya Mama lagi ada urusan di luar kota. Kalaupun kebetulan mama lagi ada di rumah, itu cuma kamuflase."
"Tapi, kenapa, Ma?"
"Semuanya demi kamu, Dy."
"Kenapa demi aku, yang bahkan aku enggak tahu apa-apa soal itu, Ma?"
"Papa sama mama udah sepakat untuk menyembunyikan hal ini dari kamu sampai kamu lulus SMA. Setelah itu kamu bebas mau tetap ikut mama atau ikut papa ke Jogja."
Dya tercengang mendengar penuturan sang mama. Apakah maksud dari pilihan ini adalah sesuatu yang ia takutkan selama ini?
"Aku ikut mama atau papa? Itu artinya ...."
"Papa sama mama lagi dalam proses persidangan, Dy. Udah enggak ada lagi kecocokan di antara kami. Untuk apa lagi dipertahankan."
Jika kemarin hati Dya sudah hancur dan dunianya serasa jungkir balik menemukan sang papa berselingkuh, kini rasanya semua gelap. Dunianya runtuh bahkan tak bersisa walau hanya secuil puing. Kedua orang tuanya akan bercerai dan ia akan menyandang status sebagai anak yang broken home. Itu lebih menyakitkan dari apa pun.
Kenapa dunia sekejam itu kepadanya? Padahal selama ini Dya sudah merelakan masa muda yang teman-temannya habiskan untuk bersenang-senang. Sementara Dya harus berkutat dengan buku, buku lagi, dan lagi. Juga tuntutan keadaan di mana ia harus menjadi yang nomor satu. Semua itu ia lakukan untuk kebahagiaan orang tuanya. Namun, apa yang mereka berikan kepadanya sekarang?
Tidakkah mereka mau memandangnya sedikit saja? Memikirkan bagaimana kondisi mentalnya jika semua itu terjadi?
"Kenapa Papa sama Mama kejam banget sama aku?" tanya Dya dengan perasaan yang campur aduk.
"Dy, mama yakin kamu sudah cukup besar untuk menerima keputusan papa sama mama ini. Ini bukan keputusan sehari dua hari tanpa mempertimbangkan nasib dan kondisi kamu di masa depan. Justru karena perhitungan matang itulah papa sama mama mengambil langkah berpisah demi kebaikan semuanya."
Dya tergugu sembari menutupi wajahnya. Ia tak mampu lagi menahan luapan emosi dan air matanya.
Ia merasa papanya begitu jahat karena bisa-bisanya tergoda dengan wanita lain. Padahal apa kurangnya mama? Mama wanita yang mandiri, tidak pernah menyusahkan papa, sudah terbiasa ditinggal-tinggal, walaupun Dya akui mama jarang di rumah karena kesibukan kantornya.
Dya juga merasa mamanya begitu jahat karena menyembunyikan semuanya selama sekian tahun. Padahal Dya tidak keberatan jika sang mama mau berbagi beban. Tidak hanya dipikul seorang diri.
"Papa sama mama jahat!" teriak Dya seraya berlari masuk ke kamarnya.
"Dya!" panggil sang mama yang sudah tidak berdaya lagi. Ia pun sudah tenggelam dalam air mata putus asanya.
"Mbak Dya kenapa, Bu?" tanya Mbak Ivy yang baru saja tiba untuk mengantarkan camilan.
"Enggak apa-apa, Mbak. Sementara ini jangan diganggu dulu, ya." Sang mama pun beranjak masuk ke kamarnya untuk menenangkan diri. Tak dipedulikannya lagi tugas kantor yang tinggal sedikit lagi selesai.
Sementara Dya yang sudah tiba di kamarnya langsung membanting pintu dan menguncinya dari dalam. Ia terduduk di balik pintu sembari tergugu.
Dengan tangan yang gemetaran, Dya memegang ponselnya. Ingin menghubungi seseorang yang selama ini selalu ia cari jika sedang kesal, sedih, marah, bahkan bahagia.
Nada sambung segera terdengar tak lama kemudian. Tak sampai menunggu lama, seseorang di seberang sana pun mengangkat telepon dari Dya. Belum sempat sosok itu buka suara, Dya sudah menyerobot bicara lebih dulu.
"Papa sama mama aku mau cerai. Aku harus gimana?" tanya Dya lalu kembali terisak hebat. Beberapa kali ia bahkan menyerot ingusnya yang memenuhi rongga hidung.
Hingga sebuah suara yang begitu dikenalnya, menginterupsi suara tangisnya.
"Dy, kamu enggak apa-apa?" tanya seseorang di seberang sana terdengar khawatir.
Mata Dya terbeliak lalu dengan refleks melihat layar ponselnya. Penglihatannya buram karena air mata. Ia pun segera membersihkan matanya dan mengerjap beberapa kali agar bisa menatap dengan jelas.
"Di-Diaz?" tanya Dya malu karena bertingkah seperti anak kecil di depan Diaz. Selama ini Dya hanya menunjukkan sisi kanak-kanaknya di mata Aksa.
Tadi niat awalnya ia ingin curhat dengan Aksa. Itu sebabnya Dya menelepon pemuda itu. Namun, karena mata Dya buram tertutup air mata, makanya ia tidak sadar kalau sudah salah menelepon orang.
"Kamu enggak dengan sengaja nelepon aku cuma untuk curhat, kan?" tanya Diaz membuat Dya mati kutu.
"Eh, maaf, Yaz. Aku kira Aksa. Tadi aku mau nelepon Aksa, eh, malah nyambungnya ke kamu. Sekali lagi maaf, ya."
Suasana di antara mereka jadi begitu canggung usai kejadian di bus pariwisata sepulang mereka study tour. Gara-gara kelakuan Aksa yang bermulut ember.
"Eh, Dy! Tunggu dulu," cegah Diaz saat Dya hendak memutus sambungan telepon mereka.
"Kenapa, Yaz?"
"Kita udah jadi temen, kan?"
"Iya."
"Enggak keberatan cerita masalah kamu ke aku? Aku enggak masalah dengerin cerita kamu. Itu pun kalau kamu mau dan udah mau percaya sama aku."
❤️❤️❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Dopamin Love
Fiksi RemajaAnindya Milena dan Ardiaz Miryando selalu bersaing untuk menyandang predikat siswa terbaik di sekolahnya. Persaingan seolah manjadi dopamin yang membuat mereka ketagihan karena bagi keduanya, juara itu hanya ada satu. Segala macam cara mereka lakuk...