"Teman menunjukkan cinta mereka ketika ada masalah, bukan di saat bahagia."
Euripides
❤️❤️❤️
Embusan angin menerpa wajah Diaz yang masih dihiasi kacamata. Poninya yang ikal melambai-lambai. Helaan napas kembali keluar dari organ pernapasannya. Ia lelah. Sungguh lelah. Sementara pemandangan di bawah sana tak membuatnya jadi lebih baik.
Diaz banyak merenung belakangan ini. Untuk apa ia lahir ke dunia jika kehadirannya tidak membuat orang lain bahagia. Hanya membawa masalah seperti yang papanya selalu katakan.
Untuk apa ia berusaha payah selama ini mengukir prestasi akademik. Untuk apa selama ini ia terus mengasah kemampuan menulisnya hanya demi bisa terlihat sama dengan sang kakak di mata papanya. Untuk apa ia korbankan hidupnya melakukan ini dan itu yang pada akhirnya tidak dihargai sama sekali. Mau sesempurna apa pun yang dilakukan Diaz, posisinya tetaplah sama di mata sang papa. Diaz adalah sebuah kesalahan.
Embusan angin kini tak hanya menghantam wajahnya, tetapi seluruh tubuhnya. Memberikan sensasi yang membuat tubuh merinding. Diaz tersadar dari lamunannya, lalu kembali menatap lapangan sekolah di bawah sana.
Tiba-tiba pikiran itu terlintas begitu saja dalam benaknya. Jika keberadaannya di dunia tidak diinginkan, lalu untuk apa lagi ia tetap bertahan? Bukankah apa saja yang ia lakukan akan sia-sia? Bukankah lebih baik diakhiri saja?
Jarak antara bagian atas gedung sekretariat ekskul yang tak beratap itu dengan lapangan sekolah hanya belasan meter. Paling parah hanya patah tulang.
Membayangkan tulangnya patah di beberapa bagian membuat Diaz bergidik ngeri. Kalau langsung lewat, Diaz tidak akan merasakan sakit. Namun, bagaimana jika ia selamat dan harus merasakan semua rasa sakit itu?
Ah, tidak. Diaz belum cukup gila untuk melakukannya. Ia mundur kembali beberapa langkah menjauhi tepi bangunan. Tepat ketika itu, seseorang menarik tangannya lalu memiting tangan Diaz ke belakang. Tubuhnya dihempaskan ke lantai lalu ditindih oleh entah siapa.
"Gila, lo, Yaz?!" hardik seseorang. Diaz mengenali suara itu.
"Apaan, sih? Lepasin!" Diaz berusaha memberontak karena tangannya benar-benar sakit. Dadanya yang terhimpit oleh lantai bagian atas gedung juga terasa sesak.
"Enggak akan! Gue gak akan lepasin lo!" teriak Aksa.
"Sakit!" teriak Diaz lagi.
"Mending kamu sakit sekarang daripada kamu sakit karena lompat dari gedung ini. Sadar, Yaz! Lompat enggak akan menyelesaikan masalah." Kali ini suara Dya yang terdengar.
Dalam posisi tubuh tengkurap di atas lantai, Diaz mendongak untuk mencari presensi Dya. Entah kenapa hatinya terasa berbeda setelah melihat wajah khawatir gadis itu.
"Siapa yang mau lompat?" tanya Diaz sembari berusaha menatap tepat ke mata Dya.
"Terus kamu ngapain berdiri di tepi bangunan lama banget? Dari tadi kita, tuh, merhatiin kamu dari bawah." Kecemasan di wajah gadis itu semakin kentara.
"Aku cuma lagi ngelamun. Bukan mau lompat. Barusan juga aku mundur dari tepi." Diaz membela diri.
"Beneran? Jangan bohong, ya. Kalau bohong gue piting lagi, nih." Aksa mengancam.
"Serius. Ngapain lompat? Sakit tau. Tulangnya bisa patah semua. Ngeri." Diaz berkata santai.
Perlahan Aksa melepaskan pegangannya di tangan Diaz kemudian membantu pemuda itu untuk berdiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Dopamin Love
TeenfikceAnindya Milena dan Ardiaz Miryando selalu bersaing untuk menyandang predikat siswa terbaik di sekolahnya. Persaingan seolah manjadi dopamin yang membuat mereka ketagihan karena bagi keduanya, juara itu hanya ada satu. Segala macam cara mereka lakuk...