"Hidup adalah sepuluh persen apa yang terjadi padamu dan sembilan puluh persen bagaimana kamu menghadapinya."
Lou Holtz
❤️❤️❤️
"Diaz, tunggu!" panggil Dya ketika Diaz berjalan lebih dulu meninggalkannya usai mereka keluar dari ruang BK.
"Apa lagi?" tanya Diaz dengan wajah yang tidak bersahabat.
"Oh, sama cinta pertama kamu begitu? Ketus enggak ada mesra-mesranya," ledek Dya menirukan artikel majalah sekolah terkait perasaan Diaz kepadanya.
Diaz menatap Dya tajam. Tak mengucapkan sepatah kata pun walaupun rasanya ingin protes.
"Kenapa manggil?" tanya Diaz setelah berhasil menguasai dirinya.
"Cuma mau mastiin kamu bakalan menerima panggilan universitas yang dikasih Bu Rina tadi atau enggak."
"Kenapa? Kamu takut kita ketemu lagi? Takut kalah?" tantang Diaz.
"Kan orang-orang tahunya kita saling suka dan pacaran. Keliatan aneh aja kalau kita enggak kuliah di universitas yang sama. Mereka pasti pada kepo."
"Oh, jadi kamu mau kita ketemu lagi dalam satu kampus, gitu? Kamu suka beneran sama aku?" tanya Diaz dengan senyum mengejek.
"Dih, GR banget kamu. Cuma mau mastiin kalau kita enggak akan ambil panggilan dari universitas yang sama. Ogah aku ketemu kamu lagi." Dya menjawab seraya melengos kemudian pergi meninggalkan Diaz yang hanya bisa menghela napasnya.
"Dasar gadis aneh," gumam Dya seraya berjalan di belakang Dya.
Selang beberapa menit mereka berjalan dalam diam. Tiba-tiba Dya menghentikan langkahnya dan berbalik.
"Apa lagi?" tanya Diaz yang terkejut melihat Dya tiba-tiba berhenti di depannya.
"Masih banyak anak-anak ekskul yang belum pulang. Mending kita jalannya barengan." Dya berujar seraya menyejajari Diaz.
"Kita baru aja dikasih teguran di ruang BK, Dy! Teguran itu enggak masuk di otak kamu yang kelewat cerdas itu?" protes Diaz yang merasa keberatan.
"Apa hubungannya sama teguran tadi?" tanya Dya pura-pura bodoh.
"Jangan kasih contoh yang enggak baik sama adik kelas," jawab Diaz geram.
"Loh, emangnya kita ngapain? Kita kan cuma jalan barengan doang. Tuh, yang lain juga pada jalan barengan." Dya menunjuk ke arah beberapa siswa yang jalan dalam rombongan.
"Konteks mereka sama kita beda, Dy!" tegas Diaz.
"Memang konteks kita apa? Pacaran? Kan cuma kamuflase aja." Dya tertawa geli. Baginya permainan Diaz tidak lagi terlihat mengejutkan. Justru bisa jadi bahan tertawaan.
"Terus, mau kamu apa dengan kondisi kita yang udah kamu rusak kayak gini?"
"Aku rusak?" Dya mengernyit keheranan.
"Permainanku enggak sampai melibatkan orang tua. Tapi, coba kamu lihat apa yang terjadi sama kita sekarang. Gara-gara kamu, orang tua kita jadi terlibat juga."
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Dopamin Love
Teen FictionAnindya Milena dan Ardiaz Miryando selalu bersaing untuk menyandang predikat siswa terbaik di sekolahnya. Persaingan seolah manjadi dopamin yang membuat mereka ketagihan karena bagi keduanya, juara itu hanya ada satu. Segala macam cara mereka lakuk...