#13: Independensi

192 56 14
                                    

"Jika kamu ingin menjadi kuat, belajarlah untuk menikmati kesendirian."

-Anonymous-

❤️❤️❤️


Dya membenahi hoodie jaket yang menutupi kepalanya. Ia duduk di koridor ruang tunggu sebuah rumah sakit. Duduk di sebelah sang mama yang sejak tadi masih sibuk menelepon sana-sini. Beberapa saat yang lalu terdengar mama sedang bercakap-cakap dengan orang kantornya. Mama bilang akan mampir ke sana setelah dari rumah sakit.

Lalu saat itu, mama sedang bicara dengan papa. Memberikan detil yang terjadi kenapa mereka berada di sana. 

Dya jadi teringat saat pertama kali mama menemukannya pulang dari sekolah dengan perban yang memerah di dagu.

"Kamu jatoh, Dy?" tanya mama panik. Matanya sudah berkaca dan Dya tahu mamanya sedang khawatir setengah mati. Meski berulang kali gadis itu mengatakan dirinya baik-baik saja dan sudah mendapat penanganan dari pihak medis di sekolah, tetapi hal itu tidak bisa membuat mamanya tenang.

Keesokan harinya di tempat itulah mereka berada. Mama memaksa Dya untuk pergi ke rumah sakit. Takut jika lukanya akan infeksi dan segala ketakutan-ketakutan khas seorang mama lainnya. Membuat Dya harus izin dari sekolah. Mama yang mengurus semua perizinannya.

Kepanikan mama bukan tanpa alasan. Dulu Dya pernah jatuh dari sepeda. Ada bagian tangannya yang memar. Merasa tidak terlalu parah, Dya membiarkannya saja hingga keesokan harinya ia terserang demam tinggi. Setelah diperiksa ternyata terjadi luka memar juga pada tulangnya. Untung Dya segera mendapatkan penanganan medis sehingga pemulihannya bisa lebih cepat. Jika tidak, akan menimbulkan infeksi dan kemungkinan terparah adalah amputasi.

Sejak saat itu mama sangat protektif. Itu sebabnya Dya tidak ikut kegiatan ekskul apa pun di sekolah karena mama selalu melarangnya. Rasa bosannya menjalani hari-hari sekolah yang monoton akhirnya Dya lampiaskan dengan berbuat yang terbaik di bidang akademis. Ia lahap semua buku pelajaran. Baginya buku adalah teman terbaik di hari-harinya yang sepi.

Terdengar lagi suara mama berbicara dengan papa di seberang sana. Biasanya Dya akan antusias ikut dalam obrolan keduanya. Menyerobot bicara hingga akhirnya sang mama mengalah. Namun, kali ini Dya seperti bukan dirinya. Raganya di sana, tetapi pikirannya melayang ke mana-mana.

Kini pikirannya sibuk memikirkan sesuatu yang ia rasakan sesaat sebelum ia terjatuh. Diaz. Pemuda itu tidak hanya mengusik jiwa kompetisi Dya, tetapi juga bagian jiwanya yang lain.

"Anindya Milena." Seorang perawat memanggil namanya seraya tersenyum. Membuyarkan segala pikiran yang berlalu lalang dalam kepalanya sejak tadi.

Mama segera menyudahi obrolannya dengan papa. Lalu segera menarik tangan Dya untuk masuk ke ruang periksa.

"Dya?" sapa Dokter Angga dengan senyum hangatnya yang seperti biasa.

Dya hanya menunjukkan senyum manisnya pada sang dokter yang sudah seperti omnya sendiri itu. Om Angga ini sahabat papanya ketika mereka sama-sama di bangku SMA. Sementara mama langsung mengambil alih pembicaraan.

"Dya jatuh, dagunya luka. Takut memar sampai tulangnya kayak dulu." Mama berkata dengan raut wajah khawatir.

Om Angga segera membenarkan letak kacamatanya lalu mengamati wajah Dya yang dagunya terbalut perban.

"Udah dapet tindakan pertama apa, Dy?" tanya Om Angga seraya berjalan mendekat ke arah Dya duduk.

"Cairan antiseptik, terus diperban, Om," jawab Dya. Ia membiarkan Om Angga melepas perban di dagunya. Ketika rasa perih melanda karena bagian yang terluka sedikit tertarik, Dya hanya bisa meringis.

[END] Dopamin LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang