#33: Sisi Lain

38 14 3
                                    

"Kita semua seperti bulan yang cerah. Namun, memiliki sisi yang sangat gelap."

Kahlil Gibran


❤️❤️❤️

Perpustakaan yang sepi adalah tempat favorit Diaz. Selain ia bisa membaca buku dengan tenang, ia juga tidak perlu banyak menerka-nerka jika ada berpasang-pasang mata yang menatapnya. Seharusnya begitu.

Namun, ceritanya menjadi lain jika ada Dya di dekatnya. Boro-boro bisa tenang. Sejak tadi justru mereka menjadi pusat perhatian berpasang-pasang mata yang kebetulan berpapasan dengan mereka di koridor.

Apalagi tadi penjaga perpustakaan sampai bertanya, "Tumben, datengnya barengan."

Diaz tidak terlalu memedulikan pertanyaan itu. Namun, reaksi Dya yang menjadi perhatiannya. Gadis itu tidak menyanggah apa pun. Terlihat biasa-biasa saja. Maka Diaz pun berusaha untuk bersikap biasa juga.

Kedua anak manusia berbeda lawan jenis itu memilih sebuah meja di salah satu sudut perpustakaan yang agak tersembunyi karena tertutup oleh rak-rak buku. Namun, ada jendela yang mengarah langsung ke lapangan sekolah.

Keduanya kini sedang duduk bersebelahan, asyik dengan buku bacaan mereka masing-masing. Sementara di kaca jendela perpustakaan, beberapa orang mulai berkasak-kusuk. Beberapa bahkan ada yang terkikik geli dan heboh sendiri. Namun, karena terhalang kaca, Diaz dan Dya tidak bisa mendengarnya. Hanya sesekali Diaz melirik ke arah jendela untuk memastikan tidak ada kepala yang menyembul di sana.

"Apa asyiknya, sih, liatin orang baca buku?" gerutu Diaz saat kembali terlihat beberapa kepala menyembul di kaca jendela perpustakaan.

"Asyik kalau yang diliatin itu yang menarik perhatian mereka," timpal Dya dengan suara pelan.

"Kamu maksudnya? Tahu gitu tadi aku larang kamu ikut ke sini. Aku enggak suka jadi pusat perhatian."

Dya melirik pemuda yang duduk di sampingnya itu.

"Terus kenapa kamu malah bikin gejolak sosial dengan bikin pengakuan menggegerkan di majalah sekolah? Kalau semisal enggak mau jadi pusat perhatian, ya, ngaku aja langsung ke orangnya."

Diaz tertawa mendengarnya. Dengan suara yang super pelan, tentu saja. Dari raut wajahnya jelas kali terlihat ia begitu geli dengan kalimat Dya.

Sekilas, Dya memperhatikan ekspresi wajah itu. Seperti melihat Diaz dalam versi yang lain. Inikah Diaz yang sesungguhnya?

"Kamu mau aku nyatain langsung ke kamu? Kamu lucu," ujar Diaz ketika tawanya sudah mereda.

"Lucu kenapa? Aku bukan badut," protes Dya.

"Siapa yang bilang kamu badut?"

"Terus, lucu kenapa?"

"Kamu enggak beneran suka sama aku, kan?" tanya Diaz dengan wajah geli, tetapi ditahannya untuk tertawa.

"Ya enggaklah!"

"Terus kenapa kamu pengen aku nyatain langsung?"

Dya terdiam. Memikirkan betapa bodoh dirinya karena terjebak oleh kalimatnya sendiri.

"Biar gentle, dong. Kayak aku. Di lapangan sekolah." Dya berkata bangga.

"Gentle yang pada akhirnya melibatkan orang tua kita untuk urusan remeh temeh macem cinta monyet begitu?" Diaz berkata sarkatis.

"Itu lain cerita, ya. Enggak usah disambung-sambungin, enggak ada kabelnya. Beda server."

"Terus, kalau semisal aku nyatain langsung gitu, udahnya gimana? Kamu mau apa?"

[END] Dopamin LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang