#56: Dopamin In Love

28 3 0
                                    

"Maaf, ya, Yaz. Waktu di Jogja tempo hari kita enggak jadi ke tempat nenek kamu," ujar Dya ketika mereka sedang duduk berhadapan di sebuah kafe bertema outdoor yang direkomendasikan Diaz. Mereka janji bertemu di sana untuk mengobrol. Terutama agar Dya bisa menceritakan semua masalahnya.

"Enggak apa-apa. Lainkali kalau ada kesempatan lagi mungkin kita bisa ke sana." Diaz menanggapi seraya menyeruput es susu gula arennya.

"Nenek kamu usia berapa, Yaz? Beliau tinggal sendiri atau ada sanak saudara yang lain?" tanya Dya penasaran.

"Tinggal di sebelah Kakekku."

Dya yang sedang menyeruput es teh lemonnya sempat terbengong sebentar. Otaknya sibuk mencerna maksud dari perkataan Diaz.

"Kakek dan nenek kamu tinggal sebelahan? Maksudnya mereka pisah rumah?" tanya Dya untuk memperjelas tanda tanya dalam benaknya.

"Iya, mereka dimakamkannya sebelahan. Sama mamaku juga," jawab Diaz dengan entengnya.

Hati Dya langsung mencelos. Padahal sebelumnya ia berpikir kalau neneknya Diaz itu masih hidup.

"Jadi, tempo hari waktu kamu ngajak aku itu, kamu mau ajak aku ke makam nenek kamu, Yaz?" tanya Dya syok.

"Iya. Memangnya kamu pikir apa, Dy?"

"Aku pikir kamu ngajak aku jengukin nenek kamu yang masih ada."

Diaz mengulum senyum gelinya. Rupanya Dya salah paham.

"Nenek itu salah satu orang yang berjasa banget dalam hidup aku. Beliau yang membesarkan aku selama mama banting tulang bekerja mencari nafkah. Aku lahir di luar nikah, Dy. Enggak diakuin sama papa sebagai anaknya. Jadi, jangan harap aku dinafkahi sejak kecil. Mama yang kerja keras siang malam untuk memenuhi kebutuhan kami. Sampai pada akhirnya mama menyerah sama hidupnya. Ia sakit karena kelelahan dan enggak lama meninggal. Setelah itu aku hidup berdua aja sama nenek." Diaz bercerita panjang lebar mengenai kisah hidupnya yang sangat menarik untuk disimak bagi Dya.

"Terus, gimana ceritanya kamu bisa ketemu papa kamu dan tinggal bersama beliau?" Dya bertanya penasaran sembari menyeruput habis es teh lemonnya.

"Adiknya papa yang namanya Om Danu, beliau teman baik mama. Bahkan dulu kata mama mereka sempat akan menikah sebelum papaku merayu mama. Hubungan mama dan Om Danu pun rusak karena papa. Sampai sebuah kesalahan fatal yang membuat papa murka pun terjadi. Mama mengandung aku, anak yang tidak pernah diharapkan kehadirannya. Setelah penolakan papa yang buat mama sakit hati, mama pulang ke kampung halamannya. Om Danu yang memang pada dasarnya cinta mati sama mama, menemukan keberadaan kami. Setelah mama meninggal, Om Danu mengusahakan hakku sebagai anak papa. Beliau yang mengancam papa kalau sampai aku ditelantarkan, Om Danu akan sebar skandal papa bersama mama. Itu hal yang paling ditakutkan sama papaku karena bisa membuat bisnis yang dirintisnya sejak lama hancur. Dengan terpaksa papa mengasuh aku dan menyembunyikan statusku sebagai anaknya." Diaz mengakhiri ceritanya dengan tatapan mata yang kosong dan berkaca-kaca. Mungkin ia jadi teringat dengan mendiang mama dan neneknya.

"Kenapa kamu enggak tinggal sama Om Danu aja? Kalau dari cerita kamu, kayaknya Om Danu orang yang baik."

"Enggak semudah itu, Dy. Apalagi Om Danu sudah berkeluarga. Apa jadinya kalau istrinya tau bahwa Om Danu pernah begitu menyukai mamaku dalam waktu yang lama. Bukannya kehadiran aku di tengah-tengah keluarga mereka justru akan menimbulkan luka baru?"

"Diaz ...." Dya bergumam lirih karena iba.

"Kenapa jadi cerita soal aku terus? Bukannya tadi kita ketemuan mau cerita soal masalah kamu, ya?" tanya Diaz segera mengalihkan topik pembicaraan. Ia melakukan itu sebelum dadanya kembali terasa sesak.

[END] Dopamin LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang