"Pegang rahasia lawan dan jangan biarkan dia punya jalan keluar."
- Akiyoshi Rikako-
❤️❤️❤️Suasana restoran tempat Dya janji bertemu dengan sang mama tidak terlalu ramai sore itu. Selain karena saat itu sudah lewat dari jam makan siang, keramaian berpusat di bagian dalam. Sementara Dya dan sang mama memilih tempat di luar agar bisa menikmati makanan mereka sambil melihat pemandangan.
"Ini enak banget, Ma," ujar Dya usai menelan suapan pertama nasi berlauk tomyam udangnya.
"Seafood di sini emang terkenal paling enak," timpal sang mama seraya tersenyum puas melihat putri semata wayangnya itu makan dengan lahap.
"Tumben Mama ada di sekitaran sekolah aku," ujar Dya dengan tatap keheranan. Jarang sekali mamanya terlihat di sekitaran Jakarta Selatan karena kantor tempat mamanya bekerja ada di Jakarta Pusat. Jarak yang cukup lumayan jika ditempuh dalam jam kerja seperti saat itu.
"Kan mama udah bilang, ada acara pelatihan di resto ini. Kamu nih, kalau mamanya ngomong jarang merhatiin, ya," sahut sang mama dengan gemas.
"Masak, sih, Ma? Pelatihan dari Dinas perpustakaan dan kearsipan yang Mama bilang minggu lalu?" tanya Dya dengan mata melebar.
"Iya. Memang mama pernah ada ngomong pelatihan yang lain lagi?"
"Tau gitu Dya ikut, Ma. Dya minta izin sama pihak sekolah. Dya kira acaranya baru minggu depan." Dya berkata dengan penuh penyesalan.
"Ini pelatihan khusus buat para jurnalis. Lagian kamu udah kelas dua belas. Fokus aja belajar, gak usah ikut kegiatan macem-macem."
"Dya jadi juara umum juga gak bisa bikin papa pulang setiap hari," keluh Dya dengan wajah sedih.
Terakhir kali ia bertemu dengan sang papa satu bulan yang lalu. Sebelum liburan panjang kenaikan kelas dimulai. Itu pun papanya pulang hanya sebentar. Hanya tiga hari di rumah. Tiga hari di kantor. Lalu kembali ke luar kota, mengunjungi beberapa proyek lahan dan bangunan.
Sejak ditipu oleh karyawannya sendiri, papanya tidak percaya dengan siapa pun lagi. Setiap proyek kini ia awasi dan tangani sendiri. Walaupun taruhannya adalah kebersamaan dengan keluarga yang semakin terpangkas.
Dya selalu diiming-imingi kepulangan sang papa atau jika sedang beruntung akan diiming-imingi liburan keluarga jika ia berhasil mengukir prestasi di sekolah. Itulah satu-satunya alasan Dya selalu ingin jadi yang nomor satu. Agar perhatian sang papa kepadanya kembali.
"Dy, kita udah berulang kali bahas ini dan kita udah sepakat. Papa kamu itu kerja untuk kamu, untuk kita." Sang mama meletakkan sendok makannya lalu menatap sang putri dengan serius.
"Iya, Ma," sahut Dya lirih lalu kembali melanjutkan makannya.
"Gimana sekolah kamu hari ini, Dy?" tanya sang mama mengalihkan pembicaraan.
"Ya, gitu, Ma. Beberapa guru ada yang gak hadir dan cuma kasih tugas. Terus ada pembentukan perangkat kelas."
Bicara soal perangkat kelas, Dya jadi teringat sosok Diaz yang menyebalkan. Seketika ia menjadi kesal sendiri. Wajahnya langsung terlihat cemberut.
"Aksa masih satu kelas sama kamu?"
"Masih, Ma."
"Bagus, deh. Jadi kamu gak susah cari temen."
Seandainya saja sang mama tahu jika di sekolah Dya telah menjadi primadona karena juara umum yang disandangnya. Ah, tetapi biarkan saja. Dya sedang tidak ingin membicarakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Dopamin Love
Teen FictionAnindya Milena dan Ardiaz Miryando selalu bersaing untuk menyandang predikat siswa terbaik di sekolahnya. Persaingan seolah manjadi dopamin yang membuat mereka ketagihan karena bagi keduanya, juara itu hanya ada satu. Segala macam cara mereka lakuk...