#40: Canggung

30 12 5
                                    

"Ada sakit yang tidak bisa dijelaskan oleh airmata dan ada kecewa yang tidak bisa diungkapkan dengan kata."

Anonim

❤️❤️❤️

Keesokan harinya ketika di sekolah, Dya merasa canggung jika bertemu Diaz. Jadi, ia memutuskan untuk kembali ke tempat duduknya yang semula di sebelah Ega.

"Kok pindah?" tanya Ega yang kebetulan sudah berada di kelas pagi itu.

"Lagi bosen duduk di depan," jawab Dya asal.

Melihat Ega, Dya jadi teringat perkataan Aksa kemarin. Diperhatikannya gerak-gerik gadis itu. Tidak ada yang tampak mencurigakan. Namun, entah kenapa Dya punya firasat yang tidak baik.

"Kenapa ngeliatin aku kayak gitu?" tanya Ega yang menyadari sedang diperhatikan dengan saksama.

"Enggak. Enggak ada apa-apa," jawab Dya seraya tersenyum.

Saat itulah Diaz muncul di ambang pintu kelas. Dya melihatnya lebih dulu sebelum Diaz sampai di bangkunya. Gadis itu langsung menunduk. Jantungnya berdebar-debar keras di dalam sana. Begitu berisik hingga dada Dya terasa penuh sesak.

Ketika mendongak dan melihat ke arah Diaz lagi, pemuda itu pun sedang balas menatapnya. Bergantian dengan bangku yang sebelumnya diduduki Dya. Seolah dengan tatapannya itu Diaz bertanya kenapa Dya pindah tempat duduk.

Memilih untuk tak berlama-lama saling menatap, Dya kembali menunduk. Jantungnya semakin bergemuruh tidak karuan. Wajahnya terasa memanas. Perasaan macam apa ini? Tidak nyaman, tetapi jantung berdebar antusias. Senang, tetapi rasanya ingin selalu menghindar. Setelah jauh, rasanya ingin selalu curi-curi pandang. Dya belum pernah merasakannya. Ia bahkan sampai melupakan perkataan Aksa soal Diaz kemarin.

Mendapatkan reaksi seperti itu dari Dya, Diaz kembali menghadap ke depan. Dalam hati bertanya-tanya kira-kira salahnya apa. Kenapa Dya jadi tampak menghindarinya begitu? Apa karena balasan pesan semalam?

Lamunan Diaz buyar ketika ia melihat Aksa muncul di ambang pintu kelas. Mereka sempat bertatapan sejenak sebelum keduanya saling membuang wajah.

Aksa sempat celingukan menatap bangku Diaz dan Dya sebelum meletakkan tasnya ke atas meja.

"Kamu pindah tempat duduk lagi?" tanya Aksa dengan canggung. Terlihat bingung melihat pemandangan itu. Di satu sisi, ia senang karena Dya tidak sebangku lagi dengan Diaz. Namun, di sisi lain, ia juga tidak suka jika Dya dekat-dekat dengan Ega.

Dya hanya menjawab dengan anggukan.

"Sa, gue denger kemaren lo mukul Diaz, ya?" Ega menyela di antara pembicaraan mereka.

Aksa hanya menatap gadis itu sekilas lalu menjawab dengan nada ketus, "Bukan urusan lo!"

Dya yang sudah mengerti ada apa di balik sikap ketus itu, tidak lagi terkejut. Ia hanya terdiam membiarkan.

"Dy, kamu hati-hati, ya." Aksa berujar seraya melirik ke arah Ega sekilas kemudian pergi meninggalkan kelas.

Sepeninggal Aksa, Dya kembali menatap Ega lalu Diaz dengan bergantian. Hatinya penuh tanda tanya, apa benar keduanya bersekongkol untuk mengelabuinya? Apa pernyataan suka Diaz itu juga salah satu dari rencana mereka? Namun, hati kecil Dya menyangkal untuk yang satu itu.

"Dy, majalah sekolah edisi bulan ini bakalan terbit." Ega membuka percakapan.

"Hari ini?" tanya Dya.

"Iya. Ini edisi terakhir sebelum masa jabatanku sebagai redaksi habis. Tapi, aku gagal." Ega berkata dengan raut wajah sedih.

[END] Dopamin LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang