"Pinjam tangan sekutu untuk menyerang musuh."
-Sun Tzu
❤️❤️❤️
Diaz menghentikan aktivitasnya bermain ponsel. Bola matanya bergerak ke sisi paling ujung mata. Jauh di sudut perpustakaan, ada seseorang yang baru saja menyembunyikan wajahnya di balik sebuah buku. Pemilik mata yang sejak tadi mengawasi gerak-gerik Diaz dalam diam.
Sejak di kantin sekolah tadi, Diaz sudah menyadari jika ada seseorang yang menguntitnya. Dugaannya semakin kuat ketika Diaz sengaja pergi ke perpustakaan yang jarang didatangi ketika jam istirahat pertama. Benar saja, si penguntit itu masih mengikutinya. Namun, pemuda itu tidak lantas menegur. Ia hanya ingin tahu sejauh apa si penguntit bisa berbuat.
Setelah menghela napas, Diaz melepas earphone-nya. Berpikir sejenak mencari cara untuk menjebak si penguntit itu. Lama kelamaan, rasanya risi juga diperhatikan begitu.
Beberapa saat kemudian, Diaz bangkit dari duduknya. Mengembalikan buku yang baru sempat ia baca dua halaman ke tempat semula. Setelah sedikit berpamitan kepada penjaga perpustakaan yang mengenalnya, Diaz beranjak pergi.
Koridor panjang yang menghubungkan gedung perpustakaan dengan area ruang kelas cukup ramai. Banyak siswa yang duduk-duduk di kursi sepanjang koridor. Mereka asyik berbincang dan bersenda gurau. Beberapa siswa yang mengenal Diaz terlihat menyapanya. Pemuda itu hanya membalas dengan senyum dan sedikit lambaian tangan. Memang bukan tipenya beramah-tamah.
Ada juga yang asyik berkejar-kejaran dengan teriakan yang menggema setelahnya. Beberapa siswa langsung protes, beberapa lagi tampak menutup telinga. Kondisi yang tidak kondusif jika ingin tahu apakah si penguntit itu masih terus membuntutinya tanpa menoleh ke belakang. Ia hanya tidak ingin si penguntit tahu jika korbannya sudah menyadari keberadaannya.
Diaz berbelok ke arah lorong menuju kawasan laboratorium yang sepi. Saking sepinya, akan terdengar jelas suara langkah jika ada orang lain di sana. Setelah dari sana ia mulai berjalan cepat, mencari tempat untuk menyembunyikan diri lalu menjebak si penguntit itu. Rencana yang sempurna.
Benar saja dugaan Diaz. Suara langkah si penguntit itu semakin mendekat. Napasnya terdengar memburu, tanda bahwa ia sempat berlari karena kehilangan jejak Diaz.
"Yah, kok ilang, sih? Cepet banget," gerutu sosok itu seraya menyeka keringat yang mulai menetes dari pelipisnya.
"Cari aku?" tanya Diaz dari belakang tubuh orang yang sejak tadi membuntutinya.
Seketika tubuh gadis itu berjengit kaget. Perlahan ia menoleh dan matanya melebar ketika menemukan sosok Diaz sedang menatapnya datar. Tidak ada ekspresi apa pun di wajah itu.
"Di-diaz?" ujar gadis itu terbata.
"Ini bukan pertama kalinya, kan?" tanya Diaz dengan intonasi yang begitu mengintimidasi.
"Pertama kalinya apa?" tanya Ega pura-pura tidak mengerti.
"Ini bukan pertama kalinya aku sadar kamu buntutin aku." Mata di balik kacamata berbingkai hitam itu menyipit. Mengawasi dengan saksama si lawan bicara.
Diaz masih ingat kemarin saat sekembalinya ia dari perpustakaan, Ega terlihat sedang berada di bangkunya. Entah apa yang gadis itu cari, tetapi tangannya sedang memegang buku catatan Diaz yang ada di laci meja. Begitu sadar Diaz sudah berada di kelas, Ega cepat-cepat meletakkan kembali buku itu dan berpura-pura mencari sesuatu di kolong meja.
Diaz yakin gelagat mencurigakan Ega kemarin dan hari ini masih ada hubungannya.
Melihat Ega tak kunjung menjawab, Diaz mulai kehilangan kesabarannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Dopamin Love
Teen FictionAnindya Milena dan Ardiaz Miryando selalu bersaing untuk menyandang predikat siswa terbaik di sekolahnya. Persaingan seolah manjadi dopamin yang membuat mereka ketagihan karena bagi keduanya, juara itu hanya ada satu. Segala macam cara mereka lakuk...