Seharusnya hari itu menjadi hari yang paling menyenangkan bagi Dya karena pertama, ia dinyatakan lulus. Kedua, ia menyandang predikat pemegang nilai tertinggi satu angkatan. Disusul posisi kedua adalah Diaz.
Seharusnya ia tersenyum bangga dan menyerahkan semua yang ia dapatkan hari itu kepada papa dan mamanya. Namun, ia harus menyadari kenyataan jika sang papa tidak berada lagi di tempat yang seharusnya.
Sesuai ekspektasi semua orang--- walaupun agak melenceng sedikit, dilihat dari jumlah nilai mereka dari kelas 10 hingga kelas 12, nilai Dya lebih unggul beberapa poin dari Diaz.
Usai mendapat sertifikat, hadiah, dan medali di upacara kelulusan, Dya menghampiri Diaz yang sudah berjalan lebih dulu.
"Kamu sengaja ngalah sama aku, ya?" tanya Dya setelah berhasil menyejajari langkah pemuda itu.
"Atas alasan apa aku ngalah?" tanya Diaz seraya mengerling. Menanti reaksi gadis yang ada di sebelahnya.
Dya bingung menjawab. Sejak kemarin, Diaz seperti menjauhinya. Atmosfer di antara mereka jadi terasa canggung.
"Wah, kalian berdua selamet, ya. Ditunggu loh, makan-makannya." Dodi yang menyambut ketika mereka tiba di kursi masing-masing.
"Dya tuh yang harusnya traktir. Kan dia yang juara umum." Diaz menimpali.
"Ya kalian berdualah. Makan-makan waktu jadian kemaren belom. Sekalian aja gitu kan bisa dobel-dobel," ujar Dodi lagi.
"Asyik, makan-makan!" teriak Rudi heboh.
"Siapa yang jadian?" protes Dya.
"Lah, kalian selama ini ke mana-mana berdua belum jadian?" tanya Rudi dengan wajah bingung.
"Kan enggak ada yang bilang kami jadian. Kalian aja yang menyimpulkan sendiri." Diaz menanggapi.
"Terus yang pengakuan di majalah sekolah sama di tengah lapangan waktu itu apa?" Giliran Dodi yang kini bertanya penuh heran.
"Buat sensasi aja mereka, mah." Aksa menyahut.
"Gilak sih kalian. Enggak ada obat." Dodi berkata dengan wajah syok.
"Jadi, Dya masih free?" tanya Rudi yang kembali heboh. "Gue masih ada kesempatan, dong."
"Yang ada juga gue dulu, kali." Aksa menyahut lagi.
"Terus, kenapa enggak lo gebet?"
"Dya emang free, tapi hatinya enggak. Hatinya udah milik Diaz. Begitu juga sebaliknya."
Dya melirik ke arah Diaz dengan hati yang berdebar-debar. Penasaran sekali dengan reaksi pemuda itu. Namun, ekspresi yang diberikan biasa saja. Membuat Dya langsung terlihat murung.
"Ini gimana, sih, konsepnya? Saling suka, saling memiliki hati, tapi enggak jadian? Kalian HTS-an?" Dodi bertanya keheranan.
"Jangan-jangan, nih, mereka penganut aliran enggak pacaran, tapi maennya ta'aruf-an terus tau-tau nanti nikah muda." Rudi menimpali.
"Hush, ngawur!" tukas Dya. "Masih banyak cita-cita yang harus dicapai. Enggak mau nikah muda!"
"Tuh, dengerin, Yaz. Dya enggak mau nikah muda." Rudi menimpali lagi.
"Lagian, siapa yang mau nikah muda? Otak kalian, nih. Bener-bener." Diaz menggeleng-gelengkan kepalanya.
Dya senang karena pemuda itu sudah lebih terbuka dengan orang lain sekarang. Sebelumnya jarang sekali ia meladeni Dodi dan Rudi.
"Mau HTS-an kek, mau ta'aruf-an kek, mau nikah muda kek, kita doain aja yang terbaik buat mereka." Aksa menengahi.
"Udah ikhlas, Sa?" sindir Dodi.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Dopamin Love
Novela JuvenilAnindya Milena dan Ardiaz Miryando selalu bersaing untuk menyandang predikat siswa terbaik di sekolahnya. Persaingan seolah manjadi dopamin yang membuat mereka ketagihan karena bagi keduanya, juara itu hanya ada satu. Segala macam cara mereka lakuk...