"Rasa bisa mengaburkan pandangan atau arahmu. Namun, logika akan selalu membuatmu berpijak kembali ke bumi."
Jeni Karay
❤️❤️❤️
Aksa berlari sembari menggiring bola. Merangsek melewati beberapa lawan yang bertahan di kotak pertahanan. Kemampuannya mengolah kulit bundar tidak diragukan lagi. Tidak percuma status yang disandangnya sebagai kapten tim sepakbola sekolah mereka.
Tepuk tangan para murid perempuan terdengar semakin riuh. Ada yang berteriak heboh sembari memukuli teman di dekatnya karena gemas sendiri dengan kekerenan Aksa di lapangan, ada yang hanya terdiam sambil melongo karena terpana oleh pesona menyilaukan Aksa, bahkan ada juga yang berteriak kencang, tetapi sembari menutupi mulutnya sendiri.
Semua orang tahu Aksa si bintang lapangan sedang menghipnotis semua makhluk hawa di sekitarnya.
"Aksa selalu bikin heboh, deh," gumam Ega seraya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Dya yang duduk di sebelah Ega hanya menanggapi dengan senyum seadanya. Tipe casanova seperti Aksa jelas bukan tipe idealnya. Namun, lebih dari pada itu, Dya masih teringat pembicaraannya dengan Aksa di kantin terakhir kali. Hingga saat ini pembicaraan itu masih mengusik hatinya.
Keriuhan itu seketika berubah menjadi pekikan tatkala Aksa berhasil mencetak gol. Pemuda itu mengadakan selebrasi ke ujung lapangan dan tersenyum ke arah Dya. Memberi isyarat jika gol itu ia persembahkan untuknya. Sorak sorai semakin riuh dan wajah Dya tersipu. Menikmati saat-saat semua perhatian tertuju kepadanya.
"Ehem, pangerannya romantis amat, yak?" goda Ega.
"Apa, sih?" gumam Dya seraya menautkan anak rambutnya ke belakang telinga.
"Wah, makin bingung, nih. Pilih Aksa atau Diaz?" goda Ega tanpa ampun.
"Ish, kenapa jadi bahas Diaz coba?" gerutu Dya seraya memberengut. Nama sosok itu kembali mengusik salah satu sudut hatinya.
Saat itulah netranya secara tidak sengaja bertemu tatap dengan mata Diaz yang sedang tersenyum simpul ke arahnya seolah mengejek. Dya tertegun. Apa maksud senyum itu? Apa senyum itu muncul karena kelakuan Aksa barusan?
Tunggu, apa arti senyum itu adalah Diaz cemburu?
Rasanya Dya ingin tertawa sendiri dengan pemikiran bodohnya itu. Apa-apaan, sih? Kenapa tiba-tiba ia jadi norak begitu? Rasanya akhir-akhir ini memang ada masalah dengan neuron di otaknya. Juga otot-otot kerja jantungnya. Apa ia perlu melakukan pemeriksaan kesehatan secara menyeluruh? Rasanya sungguh tidak nyaman.
Selang beberapa menit kemudian, tim putra mengakhiri sesi latihannya. Kini giliran murid perempuan yang bermain sepak bola. Mereka sudah terbagi menjadi dua tim dan siap bermain setelah mendapat sedikit pengarahan dari Pak Heri, selaku guru Olahraga.
Bola pertama ditendang oleh tim Dya. Sementara Dya sendiri mendapat posisi gelandang tengah. Suara murid laki-laki yang menonton dari tepi lapangan jauh lebih riuh ketimbang murid perempuan yang tadi menjadi penonton. Apalagi saat Dya mendapat bola dan mengopernya kepada pemain depan.
Aksa tak ketinggalan heboh. Ia bahkan membuat yel-yel bersama Dodi dan Rudi untuk mendukung Dya. Membuat gadis itu sesekali tersenyum geli saat netranya tak sengaja menangkap presensi mereka.
Namun, semua kegembiraannya hilang ketika netranya bertemu tatap dengan Diaz. Pemuda yang sejak tadi memfokuskan atensinya pada gerak-gerik Dya telah kembali mengusik ketenangan gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Dopamin Love
Ficção AdolescenteAnindya Milena dan Ardiaz Miryando selalu bersaing untuk menyandang predikat siswa terbaik di sekolahnya. Persaingan seolah manjadi dopamin yang membuat mereka ketagihan karena bagi keduanya, juara itu hanya ada satu. Segala macam cara mereka lakuk...