#44: Kemarahan Papa

24 9 0
                                    

"Patah hati seorang anak laki-laki adalah kehilangan kasih sayang dari seorang ayah."

Anonim

❤️❤️❤️


"Apa ini?" Sang papa melempar wajah Diaz dengan gulungan majalah sekolah yang sejak tadi dipegangnya. Diaz sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi pada dirinya sehingga memilih diam. Toh, lemparan-lemparan seperti itu sudah sering ia dapatkan dari sang papa selama ini.

Melihat Diaz yang diam saja membuat sang papa naik pitam. Salah sifat Diaz yang tidak ia suka adalah diamnya itu. Membuat kesal.

"Jawab kalau orang tua nanya itu!" hardik sang papa.

"Percuma, Pa. Aku jelasin juga apa Papa mau dengerin?" Diaz berkata lirih.

"Jelasin, gimana coba jelasin!" desak sang papa. Namun, rasanya mulut Diaz sudah terlalu kelu. Membicarakan aib yang sebenarnya diciptakan oleh papanya sendiri, tetapi semua kesalahan dilimpahkan kepadanya, sangat tidak mudah untuk Diaz.

"Udah, Pa. Aku yakin Diaz juga menjalani hari-hari yang berat di sekolah akibat berita itu." Rion menengahi.

"Apa yang berat untuk dia? Lebih berat juga papa karena harus menanggung malu. Apa anggapan para investor nanti? Mitra bisnis? Masyarakat? Hancur sudah bisnis yang sudah papa bangun dengan susah payah selama belasan tahun  cuma karena berita murahan begini." Sang papa melempar beberapa lembar koran lokal yang didapatnya saat kunjungan ke kantor tadi siang.

Berita soal identitas Diaz yang sebenarnya tidak hanya menyebar di sekolah, tetapi juga di luar sekolah. Apalagi sang papa yang dikenal masyarakat sebagai tokoh media massa, gampang sekali orang-orang untuk mengulik kekurangan dan kesalahannya.

Kepala Diaz tertunduk semakin dalam. Hatinya perih tak terdefinisi. Sang papa yang seharusnya bisa menjadi tempat untuknya berkeluh kesah, menjadi tempat belajar bagaimana menghadapi sebuah masalah justru menyalahkannya. Menganggap remeh penderitaannya. Membandingkan dengan derita yang harus ia tanggung karena kehilangan nama baik dan perkembangan bisnisnya di masa depan.

Padahal Diaz tidak tahu apa-apa soal ini. Ia tidak pernah meminta untuk dilahirkan hanya menjadi beban, apa lagi menyusahkan orang tuanya. Diaz tidak minta dilahirkan sebagai hasil perselingkuhan. Papanyalah yang bersalah. Namun, Diaz yang harus menanggung semuanya.

"Gimana bisa berita ini bocor? Kamu bocorin ke temen-temen kamu? Puas kamu udah hancurin reputasi papa?" Sang papa sudah mengangkat tangannya untuk memukul Diaz, tetapi tangannya segera ditangkap oleh Rion.

"Pa, sabar. Jangan emosi. Kasihan Diaz." Rion berusaha menenangkan sang papa.

"Kamu masih aja belain dia, Rion? Dia itu enggak berguna. Bisanya cuma kasih masalah ke papa. Kalau enggak karena ibunya yang ceroboh dan bodoh itu, dia enggak akan ada di dunia ini dan enggak akan kasih masalah di hidup papa."

"Cukup, Pa! Jangan hina lagi Mama!" teriak Diaz yang sudah berada di ambang batas kesabarannya.

Jika dirinya dihina dan dicaci maki, ia bisa menebalkan telinga. Namun, tidak jika orang yang dihina adalah sang mama. Malaikat tanpa sayap yang sudah mempertaruhkan nyawa untuk dirinya lahir ke dunia. Orang yang selama belasan tahun mencurahkan kasih sayang tanpa berharap imbalan hingga Diaz tumbuh menjadi anak yang sehat dan cerdas. Wanita yang rela kehilangan hidupnya untuk membuat Diaz menjadi manusia seutuhnya.

[END] Dopamin LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang