#36: Klarifikasi

42 17 6
                                    

"Tidak perlu menjelaskan tentang dirimu kepada siapa pun karena yang menyukaimu tidak butuh itu dan yang membencimu tidak akan percaya itu."

Ali bin Abi Thalib

❤️❤️❤️

Jam pulang sekolah. Tentu saja Diaz tidak lepas dari tatapan penuh rasa ingin tahu Dya. Pemuda itu tahu sejak tadi Dya terus menatapnya. Namun, ia pura-pura biasa saja. Saat dirinya hendak beranjak, barulah Dya angkat bicara.

"Kamu enggak ada yang mau dijelasin ke aku?" tanya Dya.

"Jelasin apa, ya?" Diaz masih berusaha untuk tenang. Padahal ia sudah tahu ke mana arah pembicaraan mereka.

"Oh, jadi enggak cuma aku, ya. Yang melibatkan keluarga dalam masalah kita?" Dya menatap Diaz tajam.

Saat itulah Jonas dan Aksa lewat di samping Diaz. Merasa seperti mendapat angin segar, Diaz berusaha mengalihkan topik pembicaraan.

"Kamu enggak ada yang mau ditanyain ke Aksa?" tanya Diaz seraya menunjuk ke arah punggung Aksa yang sudah sampai di pintu kelas.

"Soal apa?" tanya Dya keheranan.

"Soal lagu yang kita bahas di perpustakaan tadi."

"Kenapa aku harus tanya soal itu ke Aksa?"

"Loh, kamu enggak penasaran? Bukannya kamu tadi buru-buru ninggalin perpustakaan buat nyari Aksa?"

"Siapa yang bilang?" Dahi Dya berkerut keheranan.

"Oh, tadi bukan cari Aksa?" Diaz melirik sekilas ke arah Dya, kemudian mengalihkan pandangannya lagi ke lapangan sekolah melalui jendela kelas yang ada di belakang Dya.

"Tadi, cuma mau ke toilet. Waktu balik lagi ke perpustakaan kamu udah enggak ada. Aku pikir ke kelas. Jadi, aku ke kelas. Begitu sampai di kelas aku malah dapet kejutan dikasih sambutan sama calon kakak ipar." Dya berkata dengan penuh penekanan pada kalimat terakhir, seolah ingin menyindir.

"Kak Rion itu baik, kok." Diaz berkata asal. Semata hanya untuk mengalihkan pembicaraan. Namun, Dya tidak sebodoh itu untuk dikelabui.

"Terus?"

"Ya, enggak apa-apa. Aku duluan, ya. Ini hari Rabu. Ada rapat rutin OSIS. Pekan depan udah persiapan pergantian pengurus baru."

"Tumben mau rapat aja pamitan ama aku," sindir Dya lagi. Namun, Diaz tak peduli. Ia bergegas pergi.

Dya agak kesal, tetapi apa boleh buat. Ia tidak mungkin mengejar-ngejar pemuda itu ke sekretariat OSIS. Jadi, ia biarkan saja Diaz lolos kali ini. Esok jangan harap.

Saat Dya hendak beranjak dari kelas, tiba-tiba Ega mendekatinya. Sejak adu argumen mereka terakhir kali perihal dimuatnya berita soal perasaan Diaz di majalah sekolah, mereka jarang sekali bicara. Terlebih sejak Dya pindah tempat duduk ke bangku di sebelah Diaz. Ega duduk seorang diri sejak saat itu.

"Dy, aku mau ngomong." Ega berujar lirih.

"Mau ngomong apa, Ga?" tanya Dya berusaha untuk bersikap biasa saja dengan gadis berambut panjang itu.

Ega celingukan ke sana kemari. Seolah memastikan tidak ada seorang pun yang akan mendengarkan obrolan mereka.

"Kita cari tempat yang agak sepi, gimana?" tanya Ega meminta pendapat.

"Sepenting itu?" Dya menatap Ega keheranan campur curiga.

Ega hanya menjawab dengan anggukan.

❤️❤️❤️

[END] Dopamin LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang