"Cara terbaik menghancurkan musuh adalah dengan membuatnya menjadi kawan."
Abraham Lincoln
❤️❤️❤️
"Hasil UTS kalian sudah keluar." Bu Trias sengaja menjeda kalimatnya. Hanya ingin melihat wajah tegang para muridnya satu per satu.Nyatanya memang ada yang menatap dengan khawatir. Ada juga yang wajahnya sudah pucat pasi. Walaupun tidak sedikit juga yang menatap dengan kilatan mata antusias. Seperti dua anak manusia yang duduk di sudut kanan paling depan, dekat dengan meja guru.
"Yang nilainya masih kurang bagus, jangan bersedih hati. Jadikan ini sebagai motivasi untuk belajar lebih giat lagi. Waktu kalian hanya hitungan bulan sampai ke ujian akhir yang sangat menentukan ke mana kalian akan melangkah ke depannya."
Suasana hening. Tidak ada yang bersuara.
"Yang nilainya bagus, harus bersyukur. Jangan sombong. Jangan merasa di atas angin. Tetap harus belajar lebih giat lagi."
"Jadi, siapa pemegang nilai tertingginya, Bu?" tanya Dodi yang sudah tidak sabar sejak tadi mendengarkan sepatah dua patah kata Bu Trias yang membuat penasaran.
"Pemegang nilai tertingginya adalah Diaz dan Dya."
"Mereka berdua, Bu?" tanya Dodi tak percaya.
"Iya."
"Masak juaranya ada dua, Bu?" protes Dodi yang merasa kalau semuanya jadi tidak seru. Padahal ia dan teman-temannya yang lain ingin tahu antara Diaz dan Dya siapa yang paling pintar.
"Memangnya ada yang salah dengan juara lebih dari satu?" tanya Bu Trias keheranan.
"Setahu saya, juara memang cuma ada satu, Bu. Kalau yang kedua dan ketiga itu cuma pemeriah suasana aja," timpal Rudi yang beberapa saat kemudian mengundang koor cemoohan dari seisi kelas.
Sementara Bu Trias hanya tersenyum menanggapi ujaran salah satu siswanya yang memang terkenal agak nyeleneh dan tengil. Sebelas dua belas dengan Dodi. Sudah terkenal sampai ke ruang guru duo tengil itu hingga hampir setiap hari menjadi bahan pembicaraan para guru di kala waktu senggang.
"Jadi, begini. Tolong didengar dan diresapi baik-baik, ya, anak-anak. Juara itu tidak selalu harus nomor satu. Juara itu adalah siapa saja yang mampu melakukan hal terbaik sesuai versinya masing-masing. Jadi, kalian semua di sini adalah juara dari versi usaha terbaik yang sudah kalian lakukan."
Dodi dan Rudi saling tatap dengan wajah semringah. Mereka bangga pada akhirnya bisa menjadi juara walaupun kemampuan otak mereka pas-pasan.
"Satu lagi, soal juara dua dan tiga yang Rudi bilang tadi, ibu sama sekali tidak setuju. Jika pemikiran kalian sama seperti Rudi, maka ujung-ujungnya kalian tidak akan menghargai sebuah usaha. Juara dua dan tiga itu juara, loh. Mereka ikut berjuang melakukan yang terbaik. Hanya ada yang lebih baik lagi dari mereka."
Dya menatap Diaz sejenak. Pemuda itu terlihat sedang memperhatikan Bu Trias dengan serius. Teringat ketika pertama kali bersitegang dengan Diaz, Dya pernah mengatakan bahwa juara itu hanya ada satu. Kalau bukan di peringkat pertama, artinya bukan juara. Namun, setelah mendengar nasihat dari Bu Trias tadi, Dya jadi malu sendiri.
Benar juga kata Bu Trias. Jika menganggap juara itu hanya yang nomor satu, artinya ia menepikan juara-juara yang lain. Ia meremehkan usaha mereka. Selama ini Dya sudah dibutakan oleh ambisinya untuk terus menjadi yang nomor satu. Kehadiran Diaz sebagai rivalnya, juga teman-teman satu kelasnya yang menempati juara lain telah menyadarkannya. Juga nasihat dari walikelas mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Dopamin Love
Teen FictionAnindya Milena dan Ardiaz Miryando selalu bersaing untuk menyandang predikat siswa terbaik di sekolahnya. Persaingan seolah manjadi dopamin yang membuat mereka ketagihan karena bagi keduanya, juara itu hanya ada satu. Segala macam cara mereka lakuk...