#7: Simbiosis Mutualisme

190 73 53
                                    

"Hidup itu untuk saling ketergantungan menebar manfaat bernama simbiosis mutualisme."

❤️❤️❤️

Suara teriakan dan sorak sorai terdengar riuh dari arah lapangan sekolah. Seperti yang biasa dilakukan oleh para murid laki-laki ketika jam istirahat. Ada saja yang mengajak bertanding main basket atau sepak bola.

Dya yang sedang naik ke atas kursi untuk memasang jadwal piket kelas harus ikut celingukan ketika Ega dengan heboh menunjuk ke arah lapangan.

"Apaan, sih, Ga?" tanya Dya tanpa antusias.

"Itu si Aksa abis nyetak gol," jawab Ega heboh.

"Udah biasa itu, mah. Kalau dia gak bisa nyetak gol baru bikin heboh. Ketua ekskul bola gak bisa nyetak gol kan kebangetan," komentar Dya seraya turun dari kursi kemudian sedikit menggeret kursi itu ke samping.

"Kok, kamu gak antusias, sih?" tanya Ega keheranan.

"Harus?" tanya Dya tanpa menoleh karena saat itu ia sedang memajang denah tempat duduk kelas.

"Emang kamu beneran gak ada rasa sama Aksa, Dy? Keliatan jelas, loh, kalau Aksa, tuh, suka sama kamu."

Bukannya menjawab, Dya justru terkekeh geli. Ega ini entah orang ke berapa yang mengatakan hal seperti itu soal hubungannya dengan Aksa. Seperti biasa juga, Dya hanya menanggapinya dengan santai.

"Kok malah ketawa, sih? Emang ada yang lucu, ya?" tanya Ega keheranan.

"Kamu itu udah kayak orang-orang aja anggep aku ada apa-apa sama Aksa. Kami, tuh, cuma temenan. Sama kayak aku ke Rudi, Jonas, Dodi, dan cowok-cowok yang lain." Dya menjawab seraya turun dari kursi lalu duduk di sana.

"Serius, Dy, Aksa itu suka sama kamu, 'kan?" tanya Ega dengan kilatan mata antusias. Menggelitik Dya untuk sedikit mengerjainya.

"Menurut kamu?" Dya malah balik bertanya.

"Keliatan jelas, loh. Kalau yang lain, sih, kayaknya begitu, tapi gak seserius Aksa. Cara dia natap kamu, terus cara dia memperlakukan kamu itu beda sama yang laen."

"Aksa itu cakep. Senyumnya manis. Kamu nggak mau sama dia, Ga?" goda Dya.

"Loh, kok malah nawarin ke aku, Dy?" Ega melongo keheranan.

Setelah terdiam kemudian menghela napas, Dya kembali menjawab, "Banyak hal yang ngebuat aku gak bisa nerima dia. Dia itu terlalu baik buat aku."

"Tapi, sikap kamu seolah-olah kamu itu milik dia. Kamu nyadar gak, Dy?" Ega mulai beranalisis.

"Emang gitu?"

"Buktinya, tempo hari, waktu Rudi nanya kamu mau apa enggak sama dia, kamu malah jawabnya suruh tanya Aksa. Kalo yang gak ngerti nyangkanya pasti kamu sama Aksa itu ada apa-apa."

Dya kembali tersenyum lalu menatap Ega dengan seksama. Mau tidak mau Dya jadi bertanya-tanya sendiri apakah seperti itu orang kebanyakan melihat dirinya?

"Kamu tau simbiosis mutualisme?"

"Simbiosis mutualisme?" Ega mengulang pertanyaan Dya seraya berpikir.

"Pernah ngeliat seekor lebah ngerubunin sekuntum bunga? Atau sekawanan semut rangrang yang ngerubungin sebatang pohon? Mereka berkerumun untuk saling mengambil keuntungan. Dunia Biologi menyebutnya simbiosis mutualisme. Nah, hubungan itulah yang terjadi antara aku sama Aksa, aku sama kamu juga sekarang."

"Loh, kok aku ikutan?" protes Ega.

"Aku ngajak kamu ngerjain tugas dari Diaz ini, kan kamu jadi punya alesan untuk gak keluar kelas nemuin mereka." Dya menjelaskan seraya mengarahkan dagunya ke arah jendela kelas mereka.

Di sana ada beberapa siswi yang beberapa kali terlihat menatap ke arah mereka. Sejak tadi gerak-gerik mereka mencurigakan dan Dya sempat melihat raut kegelisahan di wajah Ega ketika melihat mereka beberapa saat lalu. Ia pun berinisiatif mengajak Ega untuk membantunya agar bisa menghindari mereka.

Ega sempat melebarkan matanya ketika melihat mereka masih berada di sana. Namun, beberapa saat kemudian ia bersikap seolah tidak peduli.

"Mereka cuma temen satu ekskul aku di majalah sekolah. Biasalah, suka cari-cari berita yang sensasional." Ega menggaruk tengkuknya gelisah. "O, ya. Terus kamu sama Aksa gimana, tuh, hubungan simbiosis mutualismenya?"

Terlihat sekali Ega berusaha mengalihkan pembahasan soal siswi-siswi itu. Namun, Dya tidak ingin ikut campur terlalu jauh sehingga memutuskan untuk melanjutkan topik obrolan awal mereka.

"Dia bisa deket terus sama aku dan aku jadi punya tameng untuk ngadepin cowok-cowok yang deketin aku. Sejauh ini berhasil, loh, karena mereka ngira aku ada apa-apa sama Aksa. Padahal gak ada apa-apa."

"Jangan-jangan, waktu itu kamu juga manfaatin aku supaya gak sebangku sama Aksa?" tanya Ega lagi.

Dya hanya menjawab dengan anggukan.

"Maaf," seloroh Dya dengan wajah bersalah. "Tapi, kamu jadi gak perlu repot cari tempat duduk lain, 'kan?"

Kini giliran Ega yang hanya merespons dengan anggukan kepala. Sementara Dya sedang mengalihkan tatapannya ke arah jendela kelas yang mengarah ke lapangan. Baru saja Diaz mengakhiri obrolannya dengan Bu Nurma. Menyisakan sedikit perasaan sakit jika teringat saat pelajaran Bu Nurma kemarin Diaz sudah membuat nama Dya tercoreng sebagai orang yang tidak bertanggung jawab atas tugasnya.

"Kamu pasti mikir aku orang yang jahat karena banyak manfaatin orang," ujar Dya tiba-tiba. Tatapan matanya masih belum beralih dari jendela kelas. Diaz sedang berjalan menyusuri koridor. Menuju ke kelas mereka.

"Aku nggak bilang gitu, kok," protes Ega.

"Aku gak akan manfaatin orang lain kalau orang itu gak dapet manfaat dari aku. Begitulah cara aku berteman, Ga. Kalau kamu gak suka, kamu boleh kok jauhin aku. Aku gak keberatan. Karena sudut pandang setiap orang itu beda, aku tau itu. Gak semua orang bisa mandang apa yang aku lakuin sebagai sesuatu yang bisa diterima. Beberapa orang justru ada yang berpikir bahwa apa yang aku lakuin ini memuakkan," lanjut Dya seraya mengerling ke arah Diaz yang sudah tiba di pintu kelas.

"Nyantai aja lagi, Dy. Aku bukan tipe orang yang kamu bilang terakhir itu. Bukankah kita hidup itu untuk take and give? Aku ngerasa wajar-wajar aja simbiosis mutualisme terjadi di dunia manusia. Hidup itu, ya memang untuk saling ketergantungan dalam memberikan manfaat. Dan ketergantungan itu kita kasih nama simbiosis mutualisme. Keren juga namanya," ujar Ega panjang lebar lalu terkekeh sendiri.

Sementara dari ujung matanya, Dya bisa melihat jika Diaz baru saja melirik ke arah mereka. Mungkin sedang mendengarkan isi percakapan orang lain seperti yang selama ini ia lakukan.

Si Kepo yang sok cuek. Begitulah Dya menyebutnya.

"Satu lagi, nih, kerjaan kita. Nanti kalau gak kelar ada yang tukang ngadu," sindir Dya dengan suara yang sengaja dikeraskan agar Diaz mendengar.

Namun, sepertinya pemuda itu terlalu sibuk dengan buku yang sedang dibukanya. Sehingga tidak menggubris sedikit pun kalimat Dya. Ada sedikit perasaan kecewa karena tidak dipedulikan, tetapi Dya berusaha untuk mengabaikannya.

❤️❤️❤️

1 Oktober 2019Bucinnya Perut Jelly Jelly 😘💜Shino Kei💜

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

1 Oktober 2019
Bucinnya Perut Jelly Jelly 😘
💜Shino Kei💜

[END] Dopamin LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang