Tidak pernah seumur hidupnya hingga detik itu Dya membayangkan akan duduk di salah satu kursi ruang sidang. Menyaksikan dan mendengar langsung keputusan itu dibacakan. Keputusan yang akan membuat keluarga mereka tak lagi sama. Mimpi buruk bagi setiap anak di dunia. Perceraian orang tua.
Bersamaan dengan bunyi ketuk palu hakim, cairan itu menetes dari kedua matanya. Dunianya sudah benar-benar runtuh. Tidak akan bisa dibangun kembali dengan cara apa pun. Entah bagaimana Dya akan menjalani hidup ke depannya. Masa depan seolah berwarna abu-abu baginya.
"Dy," sapa sang mama dengan mata berkaca. Orang yang pertama ia cari adalah putri semata wayangnya itu.
"Ma, aku mau ngomong sebentar sama Mama, boleh? Sama Papa juga." Dya cepat menambahkan ketika melihat sang papa berjalan di dekat mereka, hendak meninggalkan ruang sidang.
Sang papa menghentikan langkahnya. Terlihat antusias karena sang putri mau berbicara lagi dengannya.
Pada akhirnya keluarga yang sudah tidak utuh lagi sebagai keluarga itu, mencari tempat yang agak sepi di luar ruang sidang. Duduk di pelataran yang agak teduh. Tak terkena matahari.
"Status Papa sama Mama memang udah berbeda, tapi perasaan aku tetep sama. Enggak berubah." Dya berbicara seraya terisak.
"Dy ...." Sang mama sudah hendak memeluk Dya, tetapi gadis itu langsung melarang mamanya dengan gerakan isyarat.
"Aku belum selesai, Ma."
Sang mama beringsut kembali. Menyeka air mata yang baru saja menetes.
"Walaupun begitu, kita udah enggak bisa sama-sama lagi meraih kebahagiaan. Kita akan cari kebahagiaan masing-masing. Kayak Papa sama Mama. Mulai sekarang, aku akan maafin kekhilafan Papa sama Mama. Tapi, untuk lupa semuanya jelas enggak bisa instan. Harus ada proses untuk itu karena aku manusia biasa. Jadi, tolong jangan paksa aku lagi untuk jadi seperti yang kalian inginkan. Biar aku pilih jalanku sendiri seperti kalian memilih untuk jalan masing-masing."
Sang mama langsung terisak hebat. Entah apa yang dirasakannya. Dya berharap itu rasa penyesalan. Sang papa juga tampak tertunduk. Sebelumnya Dya sempat melihat matanya berkaca. Semoga apa yang dirasakan oleh pria itu juga adalah sebuah penyesalan.
"Terima kasih atas delapan belas tahun yang udah Papa sama Mama kasih ke aku sebagai keluarga yang utuh. Berbahagialah kalian seperti aku mau mencari kebahagiaanku sendiri."
"Maksud kamu apa, Dy?" tanya sang mama kembali menyeka air matanya.
"Aku enggak akan ambil panggilan universitas yang dikasih sama sekolah. Aku akan ikut ujian reguler dan pilih kampus yang aku mau. Juga jurusan yang aku mau. Aku enggak akan kuliah di Jakarta atau pun di Jogja. Aku mau hidup mandiri jauh dari Papa sama Mama."
Pertimbangan itu sudah masak-masak ia pikirkan. Selama beberapa bulan belakangan Dya banyak merenung dan menimbang, apakah lebih banyak kerugian atau keuntungannya jika hidup mandiri. Kali ini saja ia akan mengikuti saran dari Diaz.
"Kamu yakin, Dy? Kamu anak Mama satu-satunya, Dy."
"Ma, berhenti menggunakan kedok bahwa aku anak satu-satunya, lalu mengekang aku ini dan itu. Melarang aku melakukan ini dan itu. Tadi sudah kubilang, konsekuensi dari perceraian kalian adalah aku berhak mencari kebahagiaanku sendiri seperti kalian mencari kebahagiaan masing-masing. Jadi, tolong hormati keputusanku." Dya berkata tegas.
"Papa enggak akan melarang kamu, Dy. Kamu sudah besar, sudah tahu mana yang terbaik untuk kamu atau bukan."
"Kamu bisa bicara begitu karena sudah punya anak yang lain, Mas. Dya itu anakku satu-satunya. Aku enggak punya siapa-siapa lagi selain Dya." Sang mama menimpali ucapan papa.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Dopamin Love
Novela JuvenilAnindya Milena dan Ardiaz Miryando selalu bersaing untuk menyandang predikat siswa terbaik di sekolahnya. Persaingan seolah manjadi dopamin yang membuat mereka ketagihan karena bagi keduanya, juara itu hanya ada satu. Segala macam cara mereka lakuk...